Rabu, 15 Maret 2017

Nur Lailatul Mufidah
Janji

Ibu.. Kau tahu.. Hari ini aku menjalani hari yang berat. Sangat berat. Sampai aku tak tahu apakah aku sanggup menjalani hari esok. Hahaha, dulu aku ingat ketika aku bercerita dengan kata-kata yang sama, lalu kau menyebutku sebagai anak alay sambil jemarimu mengusap kerudungku. Tapi Ibu, untuk kali ini aku bersungguh-sungguh. Semua berawal ketika..
                 “Hei Laila, apa yang kau lakukan?” Bentak Nuri.
                “Aku? Aku tidak melakukan apapun.” Heran aku menjawab. Tiba-tiba Winda menyahut.
                “Tidak melakukan apa-apa katamu? Ngapain kamu sama mereka? Kamu itukan geng kita. Jangan bergaul sama mereka yang bodoh dan kamseupay” Ujarnya sambil menarik tanganku yang sedang bermain bersama Silvi, Aulia, dan Rima, yang mereka sebut bodoh. Aku hanya pasrah, setengah diseret tanganku, kusempatkan untuk menoleh ke belakang. Mereka bersungut-sungut marah menatapku. Cepat-cepat aku menunduk.
                Sesampainya di kelas 6 B aku didudukkan di bangku berhadapan dengan Winda dan Nuri, Seolah-olah aku adalah terdakwa.
                “Ngapain sih La, kamu itu selaluu saja membuat kita susah. Kapan kita kompak kalau kamu selalu mencari teman lain?” Tanya Nuri sambil memegang tanganku.
                Aku terkejut mendengar ucapannya. Bukankah kita harus banyak teman ya? batinku. Winda berbicara sambil tersenyum sinis.
                “Oh, aku tahu Nur, pasti Laila udah bosen sama kita. Mangkanya nyari temen lain.”
                “Bukan.. Bukan itu maksudku, tadi waktu aku mau ke kantin, aku diajak main kotak pos. Ya udah aku ikut aja. Toh kalian juga,” belum sempat aku menyelesaikan kalimatku Winda membantah.
                “Alaah, gak usah alasan deh bilang aja kamu gak suka sama kita-kita, bilang inilah, itulah.”
                Aku menghela nafas berat. Susah bicara sama Orang ngotot.
“Eh, ada apa nih kok pada ngumpul?” Tanya Fila.
“Ini Fil, Laila berulah lagi.” Adu Winda.
                “Berulah? Emang Laila habis ngapain?” Tanya Fila.
                “Ini Fil, Nuri sama Winda gak ngebolehin aku main sama gengnya Silvi dkk. Padahal kan aku cuma main.” Aku mencoba mencari pembelaan. Namun, bukannya pembelaan malah kudapatkan cacian serupa.
                “Wah betul itu Nur, Win, anak ini emang seharusnya kudu dikasih tahu. Udahlah daripada ngurusin Laila mending ke kantin yuk, laper nih.”
                Mereka beranjak meninggalkanku dengan pandangan tidak enak. Kejadian seperti ini tidak terjadi hanya sekali. Tapi berkali-kali, sampai saat ini aku tidak faham. Di kelasku selalu begitu, bila ada salah satu anggota gengnya yang melenceng, keadaannya akan seperti aku. Tapi menurutku, hanya gengku yang over.
                Esoknya..
                “Laila.. Meja ini udah aku bagi dua batasnya. Jadi, Kamu gak boleh sekalipun melanggar batas ini apalagi barang-barang kamu”
-Tertanda Nuri -
                Di meja yang aku tempati ada batas di tengah dengan menggunakan kapur tulis disertai sepucuk surat. Aku menoleh ke penjuru kelas. Sepagi ini padahal masih gak ada orang. Kubuka dan kulihat seksama.
Hampir aku menangis., enggak.. Enggak boleh.. Gak boleh nangis. Kata ibu aku harus kuat. Kuabaikan surat itu. Satu demi satu
teman-temanku datang. Tak terkecuali Nuri, Winda dan Fila. Aku dianggap Patung tak bernyawa, tak berguna. Pelajaran berlangsung seperti biasa yang kurasakan seperti neraka. Sudah begitu Nuri bersekongkol dengan teman-teman untuk tidak memperdulikanku. Jadilah selama dua hari berturut-turut aku tidak bertegur sapa dengan mereka.
                Hari ketiga saat akan pulang sekolah..
“Laila.. Sini.. Cepetan Aku beritahu sesuatu” Teriak Winda di luar kelas. Hatiku begitu senang mendengarnya. Winda sudah mau menyapaku, kuucap syukur dalam hati. Aku berlari menghampirinya. Tapi sayang, aku tak menyadari..
“GUBRAAK,, CPRAT.”
Aku sukses terjatuh di kubangan lumpur, kakiku tersandung – kaki yang entah milik siapa – melintang di pintu. Nuri, Winda, Fila serta beberapa teman laki-laki ku menertawakan keadaanku yang mengenaskan. Baju dan jilbab putihku kotor terkena lumpur, rok merahku basah kuyup. Lututku terasa sakit. Tapi, hatiku jauh lebih sakit. Marah, sedih, kecewa, sakit bertumpuk di dadaku. Ingin aku membalas mereka. Namun, aku ingat nasihatmu ibu, “Bukankah kita muslim yang harus saling memaafkan.” Ketika aku beranjak untuk memberi senyuman termanisku mereka sudah pergi. Ya sudahlah.
“Wah udah jam 06.30 Wib aku bisa telat nih.” Bergegas aku
mandi kilat, makan juga kilat, semuanya serba kilat, bahaya kalau sampai terlambat bakalan di setrap selama pelajaran berlangsung khusus untuk pelajaran Pak Qomar yang terkenal Killer.
Hosh.. Hosh untung masih sempet, haha “Hai pak satpam.” Bisikku sambil melambaikan tangan untuk pak satpam yang membelakangiku. Oops.. Pak satpamnya nengok kebelakang, cepat- cepat aku lari hehehe sebelum ketahuan.
Namun, sampai di kelas aku mematung. Tak ada satupun bangku yang tersisa, semuanya penuh, kecuali bangku cowok. Jahat banget sih mereka. Mataku terasa panas. Tenggorokanku tercekat. Hampir saja air mataku luruh.
“Kamu, ngapain berdiri di sini? Cepat duduk!” Pak Qomar tahu-tahu sudah di belakangku.
“Eh, eem, iya pak, maaf” ucapku terbata-bata.
Aku bingung 1000% mau duduk dimana aku. Nuri, Winda dan Fila tertawa-tawa melihatku sambil bertos ria.
“Pst, pst, Laila sini” bisik Syafiq, hemm apa boleh buat, gak papalah. Dengan enggan aku melangkahkan kakiku ke bangku Syafiq. Ternyata Syafiq yang nyata bukan yang selama ini kukira. Dia cukup humoris, udah gitu pinter banget.

Tak terasa semua pelajaran berakhir. Aku sangat bahagia. Hari ini aku tidak melihat tatapan-tatapan orang yang tidak suka padaku.
“La, setelah ini ikut aku yuk” ajak Syafiq.
“Ha? ikut? Kemana emangnya?” tanyaku heran.
“Udahlah nanti kamu tau sendiri.” Jawab Syafiq.
Wah ada apa-apa ini gak biasanya baru ngobrol-ngobrol langsung ngajak-ngajak. Apa Jangan-jangan Syafiq bersekongkol sama gengku. Belum selesai aku berfikir.
“GREEB.” Semuanya mendadak gelap.
“Lhoo, kok pakai ditutup segala sih mataku? Jangan buat aku takut dong.”
Sekuat tenaga aku mencoba melepaskan tangannya di mataku. Eh, tapi kok kayak tangannya cewek. Tapi siapa?.
“Udah La, nurut aja.. 5 langkah ke depan 1.. 2.. 3.. 4.. 5.. lalu 3 langkah ke kiri 1.. 2.. 3.. nah siap-siap ya La, dalam hitungan ke tiga 1.. 2. 3.. “
SURPRISE..”
Happy birthday to you.. Happy birthday laila… Happy birthday.. Happy birthday.. Happy birthday Laila.. Yeeeeee….
Tiup lilinnya.. Tiup lilinnya.. Sekarang juga…
Aku terkejut. Mataku kabur oleh air mata. Di depanku ada kue tart dengan lilin angka 12. Kelas 6 A disulap menjadi ruangan yang indah. Disana sini balon warna–warni bertebaran. Teman-temanku bersorak-sorak menyanyikan lagu ulang tahun, ada Winda,
Fila, dan Nuri, mereka menjabat tanganku.
“Laila.. Maafin kami ya, maaf untuk semua perbuatan kami, janji deh gak ngulangin lagi, nah berhenti dong nangisnya nanti cantiknya ilang looh.” Nuri memelukku di susul Winda dan Fila.
“Ibu, waktu itu aku tak bisa berkata apa-apa selain ucapan terima kasih. Terima kasih untuk mereka yang mengajarkanku arti kesabaran. Terima kasih untuk mereka yang mengajarkanku arti kesendirian. Dan terima kasih untuk Sang Maha Pencipta yang menyusun semua ini. Me always love you, God. Dan untuk engkau, Ibu yang aku sayangi, Terima kasih Ibu mau mendengar ceritaku hari ini. I love you, forever” Sambil berkata begitu Laila mengusap pipinya dengan punggung tangan. Lalu memeluk nisan ibunya yang rusak dimakan cuaca. Tak dihiraukannya angin siang yang berhembus membawa debu. Angin mentari yang menyengat kulitnya sama sekali tak digubrisnya. Ditaburkannya bunga-bunga yang ia petik di taman rumahnya. Sekali lagi ditatapnya nisan itu.
“Ibu, Laila janji akan kuat meski tak ada ibu di samping Laila, tapi ibu selalu dan selalu aka nada di hati Laila.” Ujar Laila.
Sambil beranjak meninggalkan Taman Pemakaman. Bunga Kamboja mengeluarkan aroma harumnya. Daun-daun menelisik.
Seolah-olah melepas kepergian Laila. Dengan memantapkan hati, Laila melangkah pulang. Berharap dia bisa menyusul ibunya suatu hari nanti, entah kapan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar