Nur Lailatul Mufidah
Janji
Ibu..
Kau tahu.. Hari ini aku menjalani hari yang berat. Sangat berat. Sampai aku tak
tahu apakah aku sanggup menjalani hari esok. Hahaha, dulu aku ingat ketika aku
bercerita dengan kata-kata yang sama, lalu kau menyebutku sebagai anak alay
sambil jemarimu mengusap kerudungku. Tapi Ibu, untuk kali ini aku
bersungguh-sungguh. Semua berawal ketika..
“Hei Laila, apa yang kau lakukan?” Bentak
Nuri.
“Aku? Aku tidak melakukan
apapun.” Heran aku menjawab. Tiba-tiba Winda menyahut.
“Tidak melakukan apa-apa katamu?
Ngapain kamu sama mereka? Kamu itukan geng kita. Jangan bergaul sama mereka
yang bodoh dan kamseupay” Ujarnya sambil menarik tanganku yang sedang bermain
bersama Silvi, Aulia, dan Rima, yang mereka sebut bodoh. Aku hanya pasrah,
setengah diseret tanganku, kusempatkan untuk menoleh ke belakang. Mereka
bersungut-sungut marah menatapku. Cepat-cepat aku menunduk.
Sesampainya di kelas 6 B aku
didudukkan di bangku berhadapan dengan Winda dan Nuri, Seolah-olah aku adalah
terdakwa.
“Ngapain sih La, kamu itu
selaluu saja membuat kita susah. Kapan kita kompak kalau kamu selalu mencari
teman lain?” Tanya Nuri sambil memegang tanganku.
Aku terkejut mendengar
ucapannya. Bukankah kita harus banyak teman ya? batinku. Winda berbicara sambil
tersenyum sinis.
“Oh, aku tahu Nur, pasti Laila
udah bosen sama kita. Mangkanya nyari temen lain.”
“Bukan.. Bukan itu maksudku,
tadi waktu aku mau ke kantin, aku diajak main kotak pos. Ya udah aku ikut aja.
Toh kalian juga,” belum sempat aku menyelesaikan kalimatku Winda membantah.
“Alaah, gak usah alasan deh
bilang aja kamu gak suka sama kita-kita, bilang inilah, itulah.”
Aku menghela nafas berat. Susah
bicara sama Orang ngotot.
“Eh, ada apa nih kok pada ngumpul?” Tanya Fila.
“Ini Fil, Laila berulah lagi.” Adu Winda.
“Berulah? Emang Laila habis
ngapain?” Tanya Fila.
“Ini Fil, Nuri sama Winda gak
ngebolehin aku main sama gengnya Silvi dkk. Padahal kan aku cuma main.” Aku
mencoba mencari pembelaan. Namun, bukannya pembelaan malah kudapatkan cacian
serupa.
“Wah betul itu Nur, Win, anak
ini emang seharusnya kudu dikasih tahu. Udahlah daripada ngurusin Laila mending
ke kantin yuk, laper nih.”
Mereka beranjak meninggalkanku
dengan pandangan tidak enak. Kejadian seperti ini tidak terjadi hanya sekali.
Tapi berkali-kali, sampai saat ini aku tidak faham. Di kelasku selalu begitu,
bila ada salah satu anggota gengnya yang melenceng, keadaannya akan seperti
aku. Tapi menurutku, hanya gengku yang over.
Esoknya..
“Laila.. Meja
ini udah aku bagi dua batasnya. Jadi, Kamu gak boleh sekalipun melanggar
batas ini apalagi barang-barang kamu”
-Tertanda Nuri -
|
Hampir aku menangis.,
enggak.. Enggak boleh.. Gak boleh nangis. Kata ibu aku harus kuat. Kuabaikan
surat itu. Satu demi satu
teman-temanku datang. Tak
terkecuali Nuri, Winda dan Fila. Aku dianggap Patung tak bernyawa, tak berguna.
Pelajaran berlangsung seperti biasa yang kurasakan seperti neraka. Sudah begitu
Nuri bersekongkol dengan teman-teman untuk tidak memperdulikanku. Jadilah
selama dua hari berturut-turut aku tidak bertegur sapa dengan mereka.
Hari ketiga saat akan pulang sekolah..
“Laila.. Sini.. Cepetan Aku
beritahu sesuatu” Teriak Winda di luar kelas. Hatiku begitu senang
mendengarnya. Winda sudah mau menyapaku, kuucap syukur dalam hati. Aku berlari
menghampirinya. Tapi sayang, aku tak menyadari..
“GUBRAAK,, CPRAT.”
Aku sukses terjatuh di
kubangan lumpur, kakiku tersandung – kaki yang entah milik siapa – melintang di
pintu. Nuri, Winda, Fila serta beberapa teman laki-laki ku menertawakan
keadaanku yang mengenaskan. Baju dan jilbab putihku kotor terkena lumpur, rok
merahku basah kuyup. Lututku terasa sakit. Tapi, hatiku jauh lebih sakit.
Marah, sedih, kecewa, sakit bertumpuk di dadaku. Ingin aku membalas mereka.
Namun, aku ingat nasihatmu ibu, “Bukankah kita muslim yang harus saling
memaafkan.” Ketika aku beranjak untuk memberi senyuman termanisku mereka sudah
pergi. Ya sudahlah.
“Wah udah jam 06.30 Wib aku bisa telat nih.”
Bergegas aku
mandi
kilat, makan juga kilat, semuanya serba kilat, bahaya kalau sampai terlambat
bakalan di setrap selama pelajaran berlangsung khusus untuk pelajaran Pak Qomar
yang terkenal Killer.
Hosh.. Hosh untung masih sempet, haha “Hai pak
satpam.” Bisikku sambil melambaikan tangan untuk pak satpam yang
membelakangiku. Oops.. Pak satpamnya nengok kebelakang, cepat- cepat aku lari
hehehe sebelum ketahuan.
Namun, sampai
di kelas aku mematung. Tak ada satupun bangku yang tersisa, semuanya penuh,
kecuali bangku cowok. Jahat banget sih mereka. Mataku terasa panas.
Tenggorokanku tercekat. Hampir saja air mataku luruh.
“Kamu,
ngapain berdiri di sini? Cepat duduk!” Pak Qomar tahu-tahu sudah di belakangku.
“Eh, eem, iya
pak, maaf” ucapku terbata-bata.
Aku bingung
1000% mau duduk dimana aku. Nuri, Winda dan Fila tertawa-tawa melihatku sambil
bertos ria.
“Pst, pst, Laila sini” bisik Syafiq, hemm apa boleh
buat, gak papalah. Dengan enggan aku melangkahkan kakiku ke bangku Syafiq.
Ternyata Syafiq yang nyata bukan yang selama ini kukira. Dia cukup humoris,
udah gitu pinter banget.
Tak terasa semua pelajaran berakhir. Aku sangat
bahagia. Hari ini aku tidak melihat tatapan-tatapan orang yang tidak suka
padaku.
“La, setelah ini ikut aku yuk” ajak Syafiq.
“Ha? ikut? Kemana emangnya?” tanyaku heran.
“Udahlah nanti kamu tau sendiri.” Jawab Syafiq.
Wah ada
apa-apa ini gak biasanya baru ngobrol-ngobrol langsung ngajak-ngajak. Apa
Jangan-jangan Syafiq bersekongkol sama gengku. Belum selesai aku berfikir.
“GREEB.”
Semuanya mendadak gelap.
“Lhoo, kok pakai ditutup segala sih mataku? Jangan
buat aku takut dong.”
Sekuat tenaga aku mencoba melepaskan tangannya di
mataku. Eh, tapi kok kayak tangannya cewek. Tapi siapa?.
“Udah La, nurut aja.. 5 langkah ke depan 1.. 2..
3.. 4.. 5.. lalu 3 langkah ke kiri 1.. 2.. 3.. nah siap-siap ya La, dalam
hitungan ke tiga 1.. 2. 3.. “
“SURPRISE..”
Happy birthday to you..
Happy birthday laila… Happy birthday.. Happy birthday.. Happy birthday Laila..
Yeeeeee….
Tiup lilinnya.. Tiup lilinnya.. Sekarang juga…
Aku terkejut. Mataku kabur oleh air mata. Di
depanku ada kue tart dengan lilin
angka 12. Kelas 6 A disulap menjadi ruangan yang indah. Disana sini balon
warna–warni bertebaran. Teman-temanku bersorak-sorak menyanyikan lagu ulang
tahun, ada Winda,
Fila,
dan Nuri, mereka menjabat tanganku.
“Laila..
Maafin kami ya, maaf untuk semua perbuatan kami, janji deh gak ngulangin lagi,
nah berhenti dong nangisnya nanti cantiknya ilang looh.” Nuri memelukku di
susul Winda dan Fila.
“Ibu, waktu itu aku tak bisa berkata apa-apa selain
ucapan terima kasih. Terima kasih untuk mereka yang mengajarkanku arti
kesabaran. Terima kasih untuk mereka yang mengajarkanku arti kesendirian. Dan
terima kasih untuk Sang Maha Pencipta yang menyusun semua ini. Me always love you, God. Dan untuk
engkau, Ibu yang aku sayangi, Terima kasih Ibu mau mendengar ceritaku hari ini.
I love you, forever” Sambil berkata
begitu Laila mengusap pipinya dengan punggung tangan. Lalu memeluk nisan ibunya
yang rusak dimakan cuaca. Tak dihiraukannya angin siang yang berhembus membawa
debu. Angin mentari yang menyengat kulitnya sama sekali tak digubrisnya.
Ditaburkannya bunga-bunga yang ia petik di taman rumahnya. Sekali lagi
ditatapnya nisan itu.
“Ibu, Laila
janji akan kuat meski tak ada ibu di samping Laila, tapi ibu selalu dan selalu
aka nada di hati Laila.” Ujar Laila.
Sambil beranjak meninggalkan Taman Pemakaman. Bunga
Kamboja mengeluarkan aroma harumnya. Daun-daun menelisik.
Seolah-olah
melepas kepergian Laila. Dengan memantapkan hati, Laila melangkah pulang.
Berharap dia bisa menyusul ibunya suatu hari nanti, entah kapan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar