Siti Zuhrotun Ni’mah
Inilah
Hidup
Kriing… bel berdering, seluruh siswa
MTsN Purwosari mulai masuk kelasnya masing-masing, dalam sekejab, sekolah
menjadi hening, hanya terlihat beberapa siswa yang terlambat dan terburu-buru
memasuki kelasnya.
Beberapa
menit berlalu, mulai terdengar suara lantunan doa yang bersahutan dari
masing-masing kelas. Begitu juga kelasku, kelas yang terletak dilantai 1 paling
pojok di samping kantor, tepatnya kelas VIII A.
Sekilas
kelasku memang terlihat sama seperti kelas-kelas yang lainnya. Bagaimana tidak,
di dalam kelas itu terdapat puluhan anak titisan Einsten. Mereka anak-anak yang
tak pernah absen mengikuti berbagai perlombaan dan kejuaraan, juga tak pernah
pulang dengan tangan kosong karena selalu memborong trophy-trophy kemenangan, tetapi dibalik prestasi-prestasi itu,
ternyata banyak menyimpan berbagai formula.
Namaku Alif,
lengkapnya Alif Laili Munazila. Aku juga termasuk dari anggota kelas VIII A.
Terkadang aku tidak menyangka bahwa aku bisa menjadi setetes tinta hitam di lautan susu.
Dengan nilai yang pas-pasan aku masuk ke kelas unggulan itu. Awalnya aku
membayangkan bahwa di kelas unggulan itu mereka berlaku dengan sportif,
ternyata semua berbalik 180 derajat.
Dari SD aku
sudah dididik untuk bersikap jujur dan sportif oleh orang tuaku, saat pertama
kali memasuki kelas ini aku begitu kaget dengan apa yang ada disekitarku.
Cerita ini
bermula pada hari selasa pagi. Aku berangkat sekolah pagi sekali. Sampai
disana, aku langsung mengoreksi tugas matematika yang diberikan Bu Dina.
Astaga! Aku kurang 2 nomor, akhirnya aku menyerah untuk mengerjakan sendiri.
Akupun menemui temanku yang bernama Leli
“Lel, kamu
soal no 2 sama 3 sudah selesai apa belum?”
“Aku juga
bingung, gak bisa ngerjain, maaf ya..” Jawab Leli.
Aku tidak
mau menyerah, aku mencoba bertanya pada temanku yang lain. Saat aku mendekati
tempat duduknya, terlihat tugasnya sudah selesai.
“Vin, kamu
tau cara ngerjain yang no 2 sama 3 gak?”
Diapun
menjawab “Aku sudah menghitung tapi jawabannya gak ketemu” Jawabnya dengan nada
datar. Aku terpaksa kembali ke bangkuku dengan tangan hampa. Biarlah tugasku
belum selesai toh orang-orang juga banyak yang belum.
“Assalamu’alaikum
anak-anak, selamat pagi” Sapa Bu Dina salah satu guru matematika di sekolah ini
“Wa’alaikumussalam
bu, selamat pagi juga” Kami menjawabnya serentak.
“Anak-anak,
bagaiman tugasnya sudah selesai?”
“Sudah bu”
jawab mereka, “Ya sudah, ayo siapa yang mau mengerjakan di depan!”
“Saya Bu”
Sandi langsung mengambil kesempatan emas untuk mendapatkan nilai tambahan
“Nomor 2?”
Bu Dina menawarkan pada kami
“Saya yang
akan mengerjakan nomor 2 Bu”, Leli pun langsung maju dan mengambil spidol
Aku langsung
kaget, bukannya tadi dia bilang kalau belum selesai, tapi kenapa dia langsung
maju? padahal, aku dari tadi mengamati dia sama sekali tak memegang pensil,
bagaimana bisa dia tiba-tiba ia sudah menyelesaikannya.
“Nomor 1 dan
2 sudah benar yang belum mengerjakan tolong dicatat”
Saat Leli
selesai mengerjakan dan kembali ke tempat duduknya, aku menghalangi dia dengan
tanganku.
“Lel, katamu
tadi belum ngerjain tapi kok tiba-tiba tadi kamu maju?”
“Kamu memang
temanku, tapi saat mata pelajaran berlangsung, kamu dan semua yang ada di sini
tidak lebih dari seorang musuh dalam selimut yang perlu aku waspadai”
Tenggorokanku
terasa membeku dan tak mampu mengucap sepatah katapun. Bagaimana bisa leli yang
begitu ramah terhadap teman, bisa memiliki prinsip belajar yang begitu kolot.
Apakah dengan cara itu ia bisa selalu memenangkan berbagai kejuaraan mapel.
Apakah dengan cara itu ia bisa menjadi perhatian semua guru?
Merasa lelah
dengan kejadian ini, akupun memutuskan untuk mengotak-atik soal matematika yang ada di depan mata.
“Yang nomer
3, mungkin Vina mau maju?”
Tanpa
basa-basi iapun menuliskan jawabannya di papan. Lagi-lagi aku dibuat terkejut, Vina dengan lancarnya menuliskan
jawaban itu.
Aku semakin
tidak mengerti permainan apa yang mereka mainkan, hingga tak ada kata kompromi
dalam belajar. Hingga teman yang kesusahan belajar enggan untuk ia bantu.
Keherananku tidak hanya berhenti sampai di
situ. Pada waktu ujian fisika mereka melakukan tindakan yang sungguh tidak
sportif. Mereka membuka buku catatan bahkan juga ada yang sudah mempersiapkan
rangkuman materi. Tanpa ada rasa takut mereka menuliskan jawaban-jawaban kotor
itu. Tanpa mereka sadari juga, mereka telah membohongi diri mereka, serta semua
yang ada di sekitar mereka.
Akupun kebingungan mengerjakan soal ujian
itu.kebetulan aku tadi malam tidak belajar. Aduh… bagaimana ini? Haruskah aku
bertanya pada mereka? Tidak, mereka pasti tidak mau mengajariku. Mungkinkah aku
juga harus melakukan hal yang sama seperti mereka? Kesabaranku mulai diuji, aku
bingung harus melakukan apa, sedangkan kalau nilaiku jelek, pasti nilaiku di
rapot ada yang merah. Orang tuakupun akan kecewa dengan hasil belajarku.
Akhirnya aku menyerah. Aku lebih memilih
mengikuti jalan mereka. Ya tuhan… ampuni aku, aku terpaksa melakukan ini.
Hari-hari berlalu, aku mulai nyaman dengan
kondisiku yang seperti ini. Aku berubah menjadi anak yang pelit, dan tidak mau
megajari yang tidak bisa mengerjakan tugas. Aku juga tidak segan-segan
membohongi temanku saat aku sudah menyelesaikan tugas.
Kebetulan hari ini kelas ku agak sepi, sekitar
10 orang anak di kirim mewakili sekolah untuk mengikuti kejuaraan termasuk Leli
dan Vina. Padahal hari ini ada ujian biologi. Saat melihat soalnya aku pun agak
lupa dengan materi itu. Akhirnya aku memakai jurus andalan. Ya, membuka buku
catatan. Saat aku sedang menyalin jawaban tiba-tiba ada yang berdehem di
belakang.
Keringat dingin membahasi tubuhku. Baru kali
ini aku merasa tak tahu apa yang harus di perbuat. Fikiranku hanya terfokus
pada nilaiku yang akan berubah menjadi telur dadar. Ya Tuhan, rasanya duniaku
telah kiamat
“Mana lembar jawabanmu?”, Dengan terpaksa
aku menyerahkan jawabannya. Beliaupun langung menyobeknya di depan mataku.
Teman-teman ku langsung berhenti mengerjakan dan memandang ke arahku
“Anak-anak sudah saya katakan berkali-kali, percuma
kalian mendapatkan nilai yang sempurna tetapi kalian memperolehnya tanpa
mengorbankan setetes keringat pun, lebih baik kalian mendapat nilai yang jelek
tapi hasil kerja keras kalian sendiri”. Pak Umar pun kembali ke tempat
duduknya, semua siswa kembali mengerjakan ujian. Aku hanya bisa terpaku,
meratapi diriku sendiri. Ternyata aku baru sadar kalau sebenarnya aku telah
melangkah ke jalur yang salah. Tapi bukan Alif namanya kalau tidak mampu
membalikkan ucapan. Sekalipun beliau seorang guru aku tidak terima, akupun mengacungkan
tanganku.
“Ada apa Alif,kamu tidak terima?” tanya Pak
Umar
“Sebelumnya maaf pak, saya mengaku salah,
tapi kenapa perbuatan ini juga dilakukan oleh anak-anak yang terbilang cerdas?
Anak-anak yang selalu mengikuti kejuaraan-kejuaraan, serta anak-anak yang
selalu mendapatkan peringkat atas, kenapa pak….?”
“Ya pak, kenapa saya yang selalu belajar
tekun dan tidak pernah mencontek justru tidak pernah mendapat nilai yang
sempurna juga tak pernah nama saya terdaftar untuk ikut kejuaraan walaupun saya
bertempat di kelas unggulan”, Celetuk Hadi. Dia merupakan salah satu anak yang
jujur di kelas ini, ia tidak mau sedikitpun mencontek atau pun sebagainya dari
kecil ia memang dididik oleh orang tuanya agar selalu bersikap jujur, orang
tuanya sangat bangga walaupun dia tak sehebat teman-teman di kelasnya.
Pak Umar pun memandangi kami satu persatu.
Wajahnya terlihat amat bijaksana walaupun ada murid nya yang bersikap tidak
sopan.
“Anak-anak apakah ada orang tua kalian yang
bangga jika mengetahui anaknya, bisa mengerjakan ujian dengan cara yang curang,
apa ada?” Beliau berjalan makin mendekati bangkuku.
“Asal kalian tahu anak anak, tuhan kita,
orang tua kalian dan saya percaya dengan kalian, tapi kenapa kalian sendiri
tidak percaya dengan diri kalian? Terkadang kita memang melihat fenomena yang
dikatakan oleh Hadi, tapi perlu kita ingat balasan untuk suatu perbuatan tidak
selalu ada di depan, mungkin Tuhan sekarang masih membingkisnya agar menjadi
bingkisan terindah untuk kita kelak.”
“Berarti, teman-teman saya yang melakukan
perbuatan seperti saya, sekalipun dia pintar
apakah ia juga mendapatkan balasannya ?” celetuk Alif.
“Tentu, tapi kita tidak tahu kapan” Beliau
menjawabnya dengan lembut.
“Apakah saya bisa mempercayai perkataan
bapak?” Hadi memulai pembicaraan lagi.
“Kamu bisa buktikan, beberapa tahun ke depan
kamu akan mengetahui hasilnya”
Ucapan demi ucapan pak Umar sungguh membuka
mataku. Beliau membuat aku mengerti bagaimana tuhan mengotak-atik takdir
seseorang. Aku juga mulai sadar, bahwa saat kita melakukan perbuatan dengan
jalan yang benar, maka ketentraman serta kedamaianlah yang akan didapat.
Esoknya di kelas anak-anak heboh
membicarakan kejadian kemarin. Ada yang menggunjing serta menertawaiku, tetapi
juga ada yang mendukungku untuk terus maju. Kelasku bertambah ramai ketika Leli
dan kawan-kawan membawa pulang 5 trophy sekaligus. Sungguh mereka hebat sekali.
Andai mereka mengetahui kejadian kemarin, mereka juga akan sadar bahwa roda
kehidupan selalu berputar dan kita tak pernah tahu kapan waktunya berada diatas
dan dibawah
[10 tahun kemudian]
“Alif, selamat ya.. kamu jadi wisudawan terbaik. Gak rugi kamu
terus-menerus belajar” ucap Hadi
“Terima kasih, aku juga ngucapin selamat
atas beasiswa S2 ke Australia yang kamu dapat” Aku dan Hadi terus berjalan
menyusuri keramaian kota sambil berbagi banyak cerita dan pengalaman. Tiba-tiba
langkahku terhenti, aku melihat sosok wanita yang wajahnya tak asing lagi
bagiku
“Had, kayaknya aku kenal orang itu” kataku
sambil menunjuk wanita berjilbab yang berjualan baju disamping sebuah rumah
makan.
“Iya, tapi siapa ya? Coba kita samperin” aku
dan Hadi menghampiri wanita itu, betapa terkejutnya aku saat mengetahui bahwa
dia temanku
“Vina? Ini Vina kan? Ini aku Alif, teman MTs
mu dulu” wanita itu awalnya kaget tetapi saat ia mulai mengingat aku dia
langsung memelukku
“Apa kabar Alif?”
Akupun menjawab “Alhamdulillah aku barusan
wisuda S1 dan ini Hadi teman kita dulu, ingat kan?”, “Oh ya aku inget” jawabnya
“Ngomong-ngomong, kuliah kamu sudah selesai
Vin?” tanyaku pada Vina
“Setelah lulus MTs, aku sekolah di SMA
bergengsi di kota asalku, waktu akan kelulusan aku mencoba mendaftar ke
berbagai pergurua tinggi, tapi tidak tahu kenapa, tidak ada universitas yang
mau menerimaku, saat aku memilih jalur mandiri hasilnyapun tetap sama. Setelah
itu aku memilih untuk melanjutkan usaha ayahku. Semangatku untuk kuliah entah hilang
kemana”
Matanya terlihat menerawang jauh, menyelami
masa lalunya yang amat mengenaskan. Mungkin dia merasa berat untuk mengingat
ini semua, aku mencoba mencairkan suasana
“Terus bagaiman kabarnya Leli, bukannya dia
juga sekolah disana” tanyaku padanya.
“Leli saat SMA memang satu sekolah denganku,
bedanya ia mendapatkan beasiswa di Jakarta, tapi sayangnya 3 hari sebelum
keberangkatannya ke sana, ia kecelakaan. Seluruh tubuhnya lumpuh dan terpaksa
dia tidak jadi mengambil beasiswa itu, dia sekarang dirawat dirumah oleh orang
tuanya. Dia mengakhiri perkataannya dengan nada pilu.”
Akupun tak sanggup membendung luapan air mata.
Begitu naas nasib yang menimpa Leli, aku tak menyangka roda kehidupannya
berputar begitu cepat hingga sekarang ia benar-benar ada di bawah.
Hadi terlihat tegar, hanya matanya
berkaca-kaca. Aku tak tahu fikirannya melalang buana entah kemana. Mungkinkah
pada ingatannya sepuluh tahun silam? Aku tak tahu. Dalam hati kulantunkan
ribuan hamdalah pada tuhanku yang telah menarik diriku dari lubang hitam nan
kelam itu. Aku dan Hadi pun berpamitan pada Vina dan melanjutkan perjalanan
untuk pulang.
Dalam
hidup ini hanya satu hal yang kuingat bahwa saat kita melakukan suatu proses
kita akan mendapatkan sebuah hasil yang membanggakan begitu juga sebaliknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar