Rabu, 15 Maret 2017

Devi Musthoviyah
Kesadaranku

Matahari terik tepat diatas kepalaku, udara mulai terasa panas, tetapi masih ada hembusan angin semilir yang ingin menghampiriku kedalam ruang kelas. Bel istirahat telah berbunyi, menandakan jam pelajaran telah usai. Sejenak untuk melepaskan penat dan menunaikan ibadah sholat dhuhur.
Anak-anak berhamburan keluar kelas, menuju kantin untuk sekedar mengisi perut dan kembali membawa satu kresek penuh berisi jajanan kantin. Tidak dengan aku. Aku merogoh saku bajuku, tak ada uang sepeserpun yang bisa digunakan untuk membeli jajan. Aku mendengar perutku yang mulai berteriak-teriak minta diisi yang memang sejak pagi belum terisi apapun selain air putih.
Suara riuh keras temanku yang tak kalah kerasnya dengan jeritan hatiku yang ingin inilah, ingin itulah.
“Tia”, suara itu membuyarkan lamunanku, aku tahu benar siapa pemilik suara berat itu. Pasti mau nagih kas, bisikku pelan.
“Ada apa, Ais?” tanyaku berlagak tak mengerti
“Kamu belum bayar kas mulai bulan Januari sampai Juli, kapan mau bayar? bilangnya besok dan besok, sampai kapan?, sampai kiamat?” Ais mulai kesal.
“Iya, tapi aku belum ada uang”.
“Pokoknya aku gak mau tahu, sebelum liburan semua harus sudah lunas”.
“Iya”, jawabku ringan.
“Huh…” Aku mendesah. Belum selesai memikirkan kas sekolah, eh… kas diniyah ditagih juga. “Gedebug, Gedebug.” Suara anak-anak dengan tergopoh kembali ke tempat duduk masing-masing. Ternyata ustadz sudah datang dan pelajaran dimulai dengan khidmat.
“Tia!” Nana memanggilku ketika aku hendak masuk kamar. Aku mendapati Nana membawa buku kas kamar. Huh.. kas lagi, kas lagi, lagi-lagi kas, lagi-lagi kas, aku mendengus kesal.
“Bayar kas?” tanya Nana
“Besok deh”.
“Sebelum liburan lunas yaa”.
“Mmmm…” Aku langsung pergi. Sambil ganti baju, aku menggerutu dalam hati, jangankan bayar kas, buat jajan aja gak ada.
Ruang kunjung penuh sesak.Anak-anak bercerita kepada orang tua masing-masing.Begitu juga aku. Aku melirik kanan-kiri. Orang tua mereka membawakan banyak bawaan dari rumah. Ada rasa iri dalam hatiku, ingin seperti mereka.
“Ibu” panggilku.
“Ada apa?” Dengan ragu-ragu aku berkata.
“Kemarin Lia dan Nia dapat baju baru dari ibunya. Aku juga ingin baju baru”
“Kau habiskan sajalah bajumu itu, baju yang tahun lalu kan juga masih bisa dipakai”
Aku sudah menduga, pasti ibu tidak akan menurutiku. Minggu kemarin juga seperti itu. Saat aku minta sepatu baru, Ibu bilang.
“Sebentar lagi kau sudah lulus, mau dibuat apa sepatumu itu?” Aku selalu berfikiran bahwa ayah dan ibu tidak pernah menyayangiku karena tidak pernah menuruti permintaanku. Setelah lama bercakap-cakap ayah dan ibu pamit pulang dan memberikan hanya selembar uang bergambar Soekarno dan Moh Hatta.
“Bu”, panggilku.
“Apalagi?”
“Uangnya kurang”, aku menjawab ragu-ragu.
“Memangnya mau buat apa?”
“Bayar kas sekolah segini, kas diniyah segini, kas kamar segini”, aku menyebutkan satu-persatu. Ibu terperangah, lantas mengeluarkan uang bewarna biru dan menyodorkan kepadaku. Sembari menerima, aku membatin, “Hanya ini, mana cukup?” Terbesit dalam hatiku untuk minta lagi, tapi kemudian urung.
“Belajar yang rajin, istiqomah bangun malam, semoga anak ayah ini bisa berhasil dan dimudahkan dalam mencari ilmu, dan ilmunya bermanfaat dunia akhirat” Kata-kata itu yang selalu keluar dari lisan ayahku ketika hendak pulang.
Kutemui orang-orang yang bersangkut paut dengan kas, membayarkan sebagian uang yang diberikan kepadaku. Namun, itupun tidak cukup.
“Tia!” aku menoleh kearah sumber suara, ternyata Zia, Lia, dan Nia berjalan kearahku dengan membawa banyak snack yang sepertinya baru dibeli di supermarket.
“Aku punya banyak snack nih, kamu mau?” Zia menawarkan.
“Ya, terima kasih” jawabku pelan.
Lagi-lagi aku ingin seperti mereka, punya banyak uang, buat beli ini, beli itu, hidupnya jadi makmur. Tidak seperti aku yang tidak pernah kesampaian jika menginginkan sesuatu. Tidak sekali dua kali aku merasakan demikian.
Seperti percikan kecil api yang dibiarkan, semakin lama semakin besar. Demikian pula denganku. Semakin lama tidak semakin terbiasa dengan mereka. Ambisiku malah menjadi-jadi. Terbesit dalam hatiku untuk menyeleweng, tapi urung. Namun, akhirnya aku melakukannya juga. Memang, begitulah jika iman sesorang tidak kuat. Aku korupsi uang SPP. Tapi tidak seluruhnya kuhabiskan, hanya sebagian. Uang itu kugunakan untuk membeli apapun yang kumau. Sebenarnya, dalam hati kecilku ada perasaan bersalah, tapi kuabaikan.
Aku mengambil beberapa snack yang tertata rapi di rak. Mengambil apapun yang kusuka, sebanyak-banyaknya tanpa harus berpikir uang kurang atau tidak cukup, yang penting aku suka dengan keadaan seperti ini.
“Berapa mbak?” tanyaku sesampainya dikasir.
“Semuanya Rp. 59.000,-” jawabnya sambil memberikan struk belanja.
“Ini” aku menyodorkan selembar uang seratus ribuan.
“Ini kembaliannya, terima kasih” ucapnya ramah. Aku keluar dari supermarket dengan menenteng kresek besar.
“Senang sekali jika hidupku seperti ini” batiku.Tapi ada yang sedikit mengganjal dalam benakku. Biarlah.
Tak terasa waktu libur semester telah tiba. Saatnya pulang ke kampung halaman masing-masing. Semua barang sudah tertata rapi, tinggal menunggu jemputan keluarga. Setiap orang yang kutemui, tersirat kebahagiaan dan keceriaan dalam wajahnya. Tempat parkir penuh dengan mobil mewah. Beberapa anak terlihat memasukkan barang kedalam mobil. Aku melihat Ayah datang mengendarai sepeda motor butut, lalu memakirnya diantara mobil-mobil mewah itu. Ayah berjalan mendekatiku.
“Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikumussalam” jawabku sembari mencium punggung tangannya.
“Ayah, kita keruang tamu saja, yuk!” ajakku dengan menarik tangan ayah.
“Barangnya apa sudah siap?”
“Sudah, ada di kamar”
“Tapi, yah” aku memotong kalimatku.
“Kenapa?”
Aku ragu-ragu menjawab, “Ayah lihat kan mobil-mobil mewah yang diparkir di depan?”
“Iya, ada apa memangnya?” Ayah bertanya dengan raut muka sedikit bingung.
“Mmm….” kataku menggantung.
“Ada apa Tia?”
“Aku ingin seperti mereka, dijemput dengan menaiki mobil bagus” jawabku memelas.
“Kenapa harus naik mobil, lebih enek seperti kita, naik sepeda motor, bisa menikmati semilir angin. Lagipula jalanan macet, bisa memakan waktu berjam-jam jika menaiki mobil” jawabnya santai.
“Tapi Ayah, walaupun berjam-jam di jalan, kita tidak akan kepanasan, apalagi kalau di dalamnya ada AC”, aku menyanggah dengan nada sedikit tinggi. Ayah terdiam sejenak.
“Ayo kita cepat pulang, Ibu kau sudah menunggu di rumah”, ajak Ayah dengan nada datar.
Aku mengambil barang-barang dan segera menaiki sepeda.
“Assalamu’alaikum”, sapaku ketika memasuki rumah.
“Wa’alaikumsalam”, jawab Ibuku yang ternyata kudapati di dapur, sedang memasak. Aku langsung mencium tangannya.
“Makan dulu Tia, Ibu sudah memasakkan makanan kesukaan kamu”.
Aku duduk di meja makan, segera mengambil piring dan mengambil apa saja yang ada di meja makan. Dalam benakku,”Wah, sudah lama sekali aku tidak makan seperti ini, nikmat sekali rasanya”.
Setiap kali liburan, aku mengusir kebosananku dengan nonton TV. Memang dari kecil aku suka nonton TV daripada main HP dan sejenisnya seperti kebanyakan anak muda sekarang.
Jarum jam menunjukkan pukul 21.00. Aku mulai mengantuk dan lelah setelah perjalanan lama tadi. Aku berjalan menuju kamar. Sedikitpun tak terpikirkan olehku tentang apa yang kulakukan kemarin, pun kejadian tadi siang yang sepertinya sedikit menyinggung perasaan Ayah.
Tiba-tiba aku terjaga. Aku melirik jam yang menunjuk pukul 02.30 dini hari. Samar-samar aku mendengar suara dari tempat sholat. Awalnya, kupikir aku hanya mimpi. Ternyata tidak, aku memang benar mendengar suara. Aku mengintip di balik pintu kamar. Kulihat ayah dan ibu sedang berdo’a sambil menitihkan air mata, sepertinya mereka usai sholat tahajud. Kalau tidak salah dengar, mereka berdo’a seperti ini:
“Ya Allah, Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang. Ampunilah dosa kami. Ampunilah dosa anak kami yang belum mengerti apa-apa. Jadikanlah kami oang tua yang bisa mengerti terhadap anak, mengerti akan kewajibannya. Jadikanlah keluarga kami keluaraga yang sakinah, mawadah, warahmah. Ya Allah, jadikanlah anak kami anak yang berguna, bermanfaat ilmunya di dunia dan akhirat. Mudahkanlah jalannya dalam mencari ilmu. Berilah kami kelapangan rizki. Jadikanlah kami orang tua yang bisa membahagikan anak, menuruti segala keinginannya. Jadikanlah kami dan anak kami orang yang bahagia dunia akhirat. Bimbinglah kami agar tetap istiqomah menjalani ibadah.”
Aku meneteskan air mata. Aku tidak berpikir sejauh ini. Ternyata selama ini Ayah dan Ibu selalu bangun malam untuk mendoakanku. Aku tak sanggup mendengarnya, di samping itu, mataku tidak bisa diajak kompromi. Aku kembali ke ranjang, menarik selimut dan kembali tidur.
Keesokam harinya, seperti biasa, aku nonton TV. Ayah bekerja di bengkel sejak tadi pagi, nanti istirahat baru jam 17.00 sore. Kadang kalau malam- malam ada orang yang bannya bocor, terpaksa Ayah harus menandanginya. Ayahku beralasan, kasihan, bagaimana kalau kita di posisi mereka. Ibuku juga begitu, setelah jama’ah shubuh, langsung membereskan rumah, mencuci, lalu menjaga warung.

Aku duduk termenung di balkon atas. Memandang hamparan sawah hijau. Terdengar kicauan burung, bersahutan satu sama lain. Angin semilir menerpa wajah. Menenangkan kalbu bagi siapa saja yang merasakannya. Disitu aku mulai berpikir. Aku sadar atas apa yang telah kulakukan selama ini. Ayah dan Ibu bekerja keras, banting tulang setiap hari untuk membiayaiku. Tapi, apa yang telah kulakukan. Aku malah menggunakan uang seenaknya, bahkan sampai korupsi uang SPP. Aku tidak mensyukuri apa yang telah kumiliki. Masih banyak orang yang tidak lebih baik daripada aku. Ayah dan Ibu selalu bangun malam hanya untuk mendo’akanku, mendo’akan keberhasilanku. Tapi, apa yang telah kulakukan. Aku tidak belajar dengan sungguh – sungguh, dengan alasan capek lah, nggak ada waktu lah, dan apa saja. Padahal jika dibandingkan, rasa capekku tidak ada separuh dari apa yang mereka rasakan. Malam pun mereka masih menyampatkan bangun untuk bermunajat. Aku sadar, mereka bekerja keras untuk membahagiakan anaknya. Aku sadar, mereka sangat menyayangiku. Sekarang aku mengerti, aku mengerti kasih sayang mereka, walau tidak dituturkan langsung kepadaku. Aku berjanji dalam hati, “Aku tidak akan meminta apapun seperti yang diminta oleh teman-temanku. Tidak minta mobil mewah, yang penting bahagia, aku akan belajar sungguh-sungguh, berusaha menuruti apa yang dikatakannya, menjalani semua dengan ikhlas”. Karena aku yakin, tidak ada orang tua yang tidak sayang terhadap anaknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar