Devi Musthoviyah
Kesadaranku
Matahari terik tepat diatas
kepalaku, udara mulai terasa panas, tetapi masih ada hembusan angin semilir
yang ingin menghampiriku kedalam ruang kelas. Bel istirahat telah berbunyi,
menandakan jam pelajaran telah usai. Sejenak untuk melepaskan penat dan
menunaikan ibadah sholat dhuhur.
Anak-anak
berhamburan keluar kelas, menuju kantin untuk sekedar mengisi perut dan kembali
membawa satu kresek penuh berisi jajanan kantin. Tidak dengan aku. Aku merogoh
saku bajuku, tak ada uang sepeserpun yang bisa digunakan untuk membeli jajan.
Aku mendengar perutku yang mulai berteriak-teriak minta diisi yang memang sejak
pagi belum terisi apapun selain air putih.
Suara
riuh keras temanku yang tak kalah kerasnya dengan jeritan hatiku yang ingin
inilah, ingin itulah.
“Tia”,
suara itu membuyarkan lamunanku, aku tahu benar siapa pemilik suara berat itu.
Pasti mau nagih kas, bisikku pelan.
“Ada
apa, Ais?” tanyaku berlagak tak mengerti
“Kamu
belum bayar kas mulai bulan Januari sampai Juli, kapan mau bayar? bilangnya
besok dan besok, sampai kapan?, sampai kiamat?” Ais mulai kesal.
“Iya,
tapi aku belum ada uang”.
“Pokoknya
aku gak mau tahu, sebelum liburan semua harus sudah lunas”.
“Iya”,
jawabku ringan.
“Huh…”
Aku mendesah. Belum selesai memikirkan kas sekolah, eh… kas diniyah ditagih
juga. “Gedebug, Gedebug.” Suara anak-anak dengan tergopoh kembali ke tempat
duduk masing-masing. Ternyata ustadz sudah datang dan pelajaran dimulai dengan
khidmat.
“Tia!”
Nana memanggilku ketika aku hendak masuk kamar. Aku mendapati Nana membawa buku
kas kamar. Huh.. kas lagi, kas lagi, lagi-lagi kas, lagi-lagi kas, aku
mendengus kesal.
“Bayar
kas?” tanya Nana
“Besok
deh”.
“Sebelum
liburan lunas yaa”.
“Mmmm…”
Aku langsung pergi. Sambil ganti baju, aku menggerutu dalam hati, jangankan
bayar kas, buat jajan aja gak ada.
Ruang
kunjung penuh sesak.Anak-anak bercerita kepada orang tua masing-masing.Begitu
juga aku. Aku melirik kanan-kiri. Orang tua mereka membawakan banyak bawaan
dari rumah. Ada rasa iri dalam hatiku, ingin seperti mereka.
“Ibu”
panggilku.
“Ada
apa?” Dengan ragu-ragu aku berkata.
“Kemarin
Lia dan Nia dapat baju baru dari ibunya. Aku juga ingin baju baru”
“Kau
habiskan sajalah bajumu itu, baju yang tahun lalu kan juga masih bisa dipakai”
Aku
sudah menduga, pasti ibu tidak akan menurutiku. Minggu kemarin juga seperti
itu. Saat aku minta sepatu baru, Ibu bilang.
“Sebentar
lagi kau sudah lulus, mau dibuat apa sepatumu itu?” Aku selalu berfikiran bahwa
ayah dan ibu tidak pernah menyayangiku karena tidak pernah menuruti
permintaanku. Setelah lama bercakap-cakap ayah dan ibu pamit pulang dan
memberikan hanya selembar uang bergambar Soekarno dan Moh Hatta.
“Bu”,
panggilku.
“Apalagi?”
“Uangnya
kurang”, aku menjawab ragu-ragu.
“Memangnya
mau buat apa?”
“Bayar
kas sekolah segini, kas diniyah segini, kas kamar segini”, aku menyebutkan
satu-persatu. Ibu terperangah, lantas mengeluarkan uang bewarna biru dan
menyodorkan kepadaku. Sembari menerima, aku membatin, “Hanya ini, mana cukup?”
Terbesit dalam hatiku untuk minta lagi, tapi kemudian urung.
“Belajar
yang rajin, istiqomah bangun malam, semoga anak ayah ini bisa berhasil dan
dimudahkan dalam mencari ilmu, dan ilmunya bermanfaat dunia akhirat” Kata-kata
itu yang selalu keluar dari lisan ayahku ketika hendak pulang.
Kutemui
orang-orang yang bersangkut paut dengan kas, membayarkan sebagian uang yang
diberikan kepadaku. Namun, itupun tidak cukup.
“Tia!”
aku menoleh kearah sumber suara, ternyata Zia, Lia, dan Nia berjalan kearahku
dengan membawa banyak snack yang sepertinya baru dibeli di supermarket.
“Aku
punya banyak snack nih, kamu mau?” Zia menawarkan.
“Ya,
terima kasih” jawabku pelan.
Lagi-lagi
aku ingin seperti mereka, punya banyak uang, buat beli ini, beli itu, hidupnya
jadi makmur. Tidak seperti aku yang tidak pernah kesampaian jika menginginkan
sesuatu. Tidak sekali dua kali aku merasakan demikian.
Seperti
percikan kecil api yang dibiarkan, semakin lama semakin besar. Demikian pula
denganku. Semakin lama tidak semakin terbiasa dengan mereka. Ambisiku malah
menjadi-jadi. Terbesit dalam hatiku untuk menyeleweng, tapi urung. Namun,
akhirnya aku melakukannya juga. Memang, begitulah jika iman sesorang tidak
kuat. Aku korupsi uang SPP. Tapi tidak seluruhnya kuhabiskan, hanya sebagian.
Uang itu kugunakan untuk membeli apapun yang kumau. Sebenarnya, dalam hati
kecilku ada perasaan bersalah, tapi kuabaikan.
Aku
mengambil beberapa snack yang tertata rapi di rak. Mengambil apapun yang
kusuka, sebanyak-banyaknya tanpa harus berpikir uang kurang atau tidak cukup,
yang penting aku suka dengan keadaan seperti ini.
“Berapa
mbak?” tanyaku sesampainya dikasir.
“Semuanya
Rp. 59.000,-” jawabnya sambil memberikan struk belanja.
“Ini”
aku menyodorkan selembar uang seratus ribuan.
“Ini kembaliannya, terima kasih” ucapnya ramah. Aku keluar
dari supermarket dengan menenteng kresek besar.
“Senang sekali jika hidupku seperti ini” batiku.Tapi ada yang
sedikit mengganjal dalam benakku. Biarlah.
Tak
terasa waktu libur semester telah tiba. Saatnya pulang ke kampung halaman
masing-masing. Semua barang sudah tertata rapi, tinggal menunggu jemputan
keluarga. Setiap orang yang kutemui, tersirat kebahagiaan dan keceriaan dalam
wajahnya. Tempat parkir penuh dengan mobil mewah. Beberapa anak terlihat
memasukkan barang kedalam mobil. Aku melihat Ayah datang mengendarai sepeda
motor butut, lalu memakirnya diantara mobil-mobil mewah itu. Ayah berjalan
mendekatiku.
“Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikumussalam”
jawabku sembari mencium punggung tangannya.
“Ayah,
kita keruang tamu saja, yuk!” ajakku dengan menarik tangan ayah.
“Barangnya
apa sudah siap?”
“Sudah,
ada di kamar”
“Tapi,
yah” aku memotong kalimatku.
“Kenapa?”
Aku ragu-ragu menjawab, “Ayah lihat kan mobil-mobil mewah yang diparkir di depan?”
Aku ragu-ragu menjawab, “Ayah lihat kan mobil-mobil mewah yang diparkir di depan?”
“Iya,
ada apa memangnya?” Ayah bertanya dengan raut muka sedikit bingung.
“Mmm….”
kataku menggantung.
“Ada
apa Tia?”
“Aku
ingin seperti mereka, dijemput dengan menaiki mobil bagus” jawabku memelas.
“Kenapa
harus naik mobil, lebih enek seperti kita, naik sepeda motor, bisa menikmati
semilir angin. Lagipula jalanan macet, bisa memakan waktu berjam-jam jika
menaiki mobil” jawabnya santai.
“Tapi
Ayah, walaupun berjam-jam di jalan, kita tidak akan kepanasan, apalagi kalau di
dalamnya ada AC”, aku menyanggah dengan nada sedikit tinggi. Ayah terdiam
sejenak.
“Ayo
kita cepat pulang, Ibu kau sudah menunggu di rumah”, ajak Ayah dengan nada datar.
Aku mengambil barang-barang dan segera menaiki sepeda.
Aku mengambil barang-barang dan segera menaiki sepeda.
“Assalamu’alaikum”,
sapaku ketika memasuki rumah.
“Wa’alaikumsalam”,
jawab Ibuku yang ternyata kudapati di dapur, sedang memasak. Aku langsung
mencium tangannya.
“Makan
dulu Tia, Ibu sudah memasakkan makanan kesukaan kamu”.
Aku
duduk di meja makan, segera mengambil piring dan mengambil apa saja yang ada di
meja makan. Dalam benakku,”Wah, sudah lama sekali aku tidak makan seperti ini,
nikmat sekali rasanya”.
Setiap
kali liburan, aku mengusir kebosananku dengan nonton TV. Memang dari kecil aku
suka nonton TV daripada main HP dan sejenisnya seperti kebanyakan anak muda
sekarang.
Jarum
jam menunjukkan pukul 21.00. Aku mulai mengantuk dan lelah setelah perjalanan
lama tadi. Aku berjalan menuju kamar. Sedikitpun tak terpikirkan olehku tentang
apa yang kulakukan kemarin, pun kejadian tadi siang yang sepertinya sedikit
menyinggung perasaan Ayah.
Tiba-tiba
aku terjaga. Aku melirik jam yang menunjuk pukul 02.30 dini hari. Samar-samar
aku mendengar suara dari tempat sholat. Awalnya, kupikir aku hanya mimpi.
Ternyata tidak, aku memang benar mendengar suara. Aku mengintip di balik pintu
kamar. Kulihat ayah dan ibu sedang berdo’a sambil menitihkan air mata,
sepertinya mereka usai sholat tahajud. Kalau tidak salah dengar, mereka berdo’a
seperti ini:
“Ya
Allah, Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang. Ampunilah dosa kami. Ampunilah dosa
anak kami yang belum mengerti apa-apa. Jadikanlah kami oang tua yang bisa
mengerti terhadap anak, mengerti akan kewajibannya. Jadikanlah keluarga kami
keluaraga yang sakinah, mawadah, warahmah. Ya Allah, jadikanlah anak kami anak
yang berguna, bermanfaat ilmunya di dunia dan akhirat. Mudahkanlah jalannya
dalam mencari ilmu. Berilah kami kelapangan rizki. Jadikanlah kami orang tua
yang bisa membahagikan anak, menuruti segala keinginannya. Jadikanlah kami dan
anak kami orang yang bahagia dunia akhirat. Bimbinglah kami agar tetap
istiqomah menjalani ibadah.”
Aku
meneteskan air mata. Aku tidak berpikir sejauh ini. Ternyata selama ini Ayah
dan Ibu selalu bangun malam untuk mendoakanku. Aku tak sanggup mendengarnya, di
samping itu, mataku tidak bisa diajak kompromi. Aku kembali ke ranjang, menarik
selimut dan kembali tidur.
Keesokam
harinya, seperti biasa, aku nonton TV. Ayah bekerja di bengkel sejak tadi pagi,
nanti istirahat baru jam 17.00 sore. Kadang kalau malam- malam ada orang yang
bannya bocor, terpaksa Ayah harus menandanginya.
Ayahku beralasan, kasihan, bagaimana kalau kita di posisi mereka. Ibuku juga
begitu, setelah jama’ah shubuh, langsung membereskan rumah, mencuci, lalu
menjaga warung.
Aku
duduk termenung di balkon atas. Memandang hamparan sawah hijau. Terdengar
kicauan burung, bersahutan satu sama lain. Angin semilir menerpa wajah.
Menenangkan kalbu bagi siapa saja yang merasakannya. Disitu aku mulai berpikir.
Aku sadar atas apa yang telah kulakukan selama ini. Ayah dan Ibu bekerja keras,
banting tulang setiap hari untuk membiayaiku. Tapi, apa yang telah kulakukan.
Aku malah menggunakan uang seenaknya, bahkan sampai korupsi uang SPP. Aku tidak
mensyukuri apa yang telah kumiliki. Masih banyak orang yang tidak lebih baik
daripada aku. Ayah dan Ibu selalu bangun malam hanya untuk mendo’akanku,
mendo’akan keberhasilanku. Tapi, apa yang telah kulakukan. Aku tidak belajar
dengan sungguh – sungguh, dengan alasan capek lah, nggak ada waktu lah, dan apa
saja. Padahal jika dibandingkan, rasa capekku tidak ada separuh dari apa yang
mereka rasakan. Malam pun mereka masih menyampatkan bangun untuk bermunajat.
Aku sadar, mereka bekerja keras untuk membahagiakan anaknya. Aku sadar, mereka
sangat menyayangiku. Sekarang aku mengerti, aku mengerti kasih sayang mereka,
walau tidak dituturkan langsung kepadaku. Aku berjanji dalam hati, “Aku tidak
akan meminta apapun seperti yang diminta oleh teman-temanku. Tidak minta mobil
mewah, yang penting bahagia, aku akan belajar sungguh-sungguh, berusaha
menuruti apa yang dikatakannya, menjalani semua dengan ikhlas”. Karena aku
yakin, tidak ada orang tua yang tidak sayang terhadap anaknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar