Choirotun Hanifah
Siapa
Aku
Namaku Rahmania Putri.
Teman-teman memanggilku Nia. Umurku 18 tahun. Aku tak memiliki hobi yang
spesifik, selama aku menyukai kegiatan itu, kurasa itu hobiku. Aku mudah sekali
tersenyum dan tertawa, bahkan hanya dengan melihat orang tertawa, akupun juga
akan ikut tertawa. Aku memiliki banyak teman yang cukup membuatku nyaman, meski
terkadang mereka sedikit menyebalkan dengan gurauan yang terkadang tidak lucu
dan membuat orang salah paham. Aku menyukai kegiatan sosial dan organisasi. Aku
cukup pintar dalam pelajaran eksak dan olahraga, tapi tak cukup pandai dalam
hal memasak, menjahit dan menyulam. Banyak dari temanku mengatakan bahwa aku
orang yang cukup baik, meski beberapa dari mereka juga ada yang membenciku,
tapi kupikir itu tak masalah, karena itu adalah hal yang wajar. Motto hidupku
adalah “BE YOUR SELF”. Dengan kata lain, aku mengetahui betul bagaimana diriku
sekarang yang sebenarnya, dan bagaimana diriku dulu yang sebenarnya.
[5 tahun
lalu]
Hari ini
adalah hari pertamaku masuk sekolah setelah liburan panjang. Aku adalah siswa
kelas 8 di sebuah sekolahan yang cukup ternama. Aku bukanlah orang yang mudah
untuk bergaul dengan teman sebaya, aku seperti itu karena aku berfikir mungkin
memiliki banyak teman bukanlah sesuatu yang baik untukku. Motto hidupku adalah
“WHAT GOES AROUND, COMES AROUND”, ‘Apa yang kau tanam itulah yang akan kau
petik’. Aku menyukai semua pelajaran ilmu pasti, jadi tak heran kalau jam
pelajaran yang bisa membuatku senang adalah matematika dan ipa. Aku tak
memiliki cukup banyak teman yang bisa membuatku nyaman disini. Aku cenderung
pendiam, sedikit pemarah dan tidak mau tahu.
“Nia kau
tidak ingin ke kantin?” tanya Miya
“Kurasa
tidak” jawabku singkat
(Namanya
Miya Anisa. Dia adalah teman sekelasku yang duduk sebangku denganku. Dia juga
pintar dalam pelajaran matematika dan ipa, baik biologi, fisika maupun kimia.
Semua kelebihannya secara intelektual hampir sama denganku, tetapi dia jauh
berbeda dariku. Bukan karena kelebihan lain yang dimilikinya seperti menjahit,
memasak dan menyulam, tetapi sikap serta etikanya yang jauh berbeda dariku. Dia
memiliki cukup banyak teman, tidak sepertiku yang hanya memiliki beberapa. Dia
juga sangat menyukai kegiatan organisasi, tidak hanya kegiatan organisasi
dilingkungan sekolah saja yang diikutinya tetapi juga kegiatan organisasi
dilingkungan rumahnya. Dia terlihat sering menyapa teman sebayanya dimanapun
dia berada, dia juga jarang sekali mengacuhkan temannya yang sedang berbicara,
dan bahkan sesekali dia juga terlihat menolong temannya yang mungkin juga tak
dikenalnya. Tak heran, jika banyak sekali yang mengatakan dia orang yang baik
meski mereka tak cukup mengenalnya)
Seperti biasa, hari ini sekolah selesai pukul 02.30 siang.
Aku terpaksa harus pulang sendiri, karena Miya memiliki urusan keorganisasian
yang diikutinya. Setelah merapikan bukuku, aku langsung beranjak pergi dan
bergegas pulang. Saat sampai dipintu kelas, aku melihat Miya sedang
berbincang-bincang dengan seseorang di depan masjid, aku tak ingat pasti siapa
nama lengkapnya, yang jelas aku pertama kali bertemu dengannya saat moment halal bihalal tahun lalu saat aku
masih duduk di kelas 7. Jujur saja aku sedikit kagum dengannya mungkin lebih
tepatnya dengan etikanya, karena saat itu, dia secara tiba-tiba meminta maaf
padaku. Mungkin aku yang berlebihan menganggap perminta-maafan darinya,
dan mungkin semua orang akan beranggapan
bahwa itu adalah hal yang wajar untuk dilakukan, tapi bagiku, itu bukanlah hal
yang sama sekali dapat dianggap wajar, karena itu adalah moment untuk pertama kalinya bagiku mendapatkan perminta-maafan
dari seseorang yang tidak mengenalku dan bahkan tidak memiliki kesalahan
terhadapku. Dia terlihat seperti orang yang sangat baik, hingga terkadang aku
merutuki sikap burukku jika sedang melihatnya.
Keesokan harinya aku bertemu dengan Miya, dia mengatakan
kepadaku bahwa aku akan mengikuti perlombaan untuk 1 bulan mendatang dalam
bentuk tim. Jujur saja, ini bukan
pertama kalinya sekolah menunjukku untuk mengikuti kegiatan perlombaan, tapi
ini untuk pertama kalinya aku mengikuti lomba dalam bentuk tim, dan entah mengapa
aku merasa sangat bersemangat sekali menanggapinya.
---
Saat pulang sekolah---
Dipercaya
itu memang bukanlah hal yang mudah. Jikalau mudah, mungkin aku tidak akan
menunggu anggota tim lainnya sendirian di dalam kelas seperti ini. Aku ingin
menarik kata-kataku bahwa aku sangat bersemangat untuk perlombaan kali ini,
karena nyatanya ini benar-benar membosankan dan menyebalkan. “Sedang menunggu?”
sapa seseorang tiba-tiba. Aku terkejut dengan suara yang barusan menyapaku.
“Ya” jawabku singkat. Aku tidak tahu kalau orang itu akan ikut dalam perlombaan
kali ini.
“Maaf,
jam pelajaran terakhir memang lama. Kau temannya Miya kan?”
“Iya”
“Miya
tidak denganmu?”
“Kami
tidak satu kelas”
“Kau
menyebalkan ya ternyata”
“Huh?”
“Jawabanmu
singkat sekali. Apakah kau tidak penasaran dengan orang yang menyapamu ini?”
Aku
terdiam sejenak sambil melihat orang didepanku. Orang yang didepanku saat ini
memiliki nama panggilan Ahmad, dia anak kelas 9-4 yang artinya dia adalah anak
kelas unggulan. Dia memiliki hubungan saudara dengan teman sekelasku. Dia
mengikuti kegiatan ektrakulikuler Albanjari. Dia menyukai pelajaran Bahasa
Indonesia, dan dia adalah orang yang disukai teman sebangkuku saat ini saat
masih SD, dan tak lupa dia adalah orang yang meminta maaf padaku secara
tiba-tiba pada moment halal bihalal
tahun lalu.
“Tidak”
jawabku singkat sambil mengambil buku didalam tasku
“Jikalau aku boleh menyarankan, kurasa kau
harus mengubah sedikit sifatmu yang menyebalkan, bukan bermaksud menasehatimu,
ini untuk perlombaan 1 bulan mendatang, kita akan dikirim sebagai tim, jadi
sudah seharusnya kau bersikap baik dengan yang lainnya untuk menjaga
kekompakan. Aku ulangi sekali lagi, aku bukan bermaksud menasehatimu, hanya
berpikir yang terbaik untuk perlombaan.”
“Aku
akan mengusahakannya, lagipula aku suka dengan alasan itu, apa Miya yang
menyuruhnya?”
“Aku
akan membantumu”
“Terserah,
aku tidak peduli”
“Namaku
Ahmad anak kelas 9-4” pernyataan yang singkat dan dia berlalu pergi
Seperti
yang dikatakan dikelas, dia akan membantuku mengubah sifatku, tapi aku tidak
tahu apa maksudnya, yang kutahu dia memperkenalkanku ke seluruh anak yang akan
mengikuti perlombaan 1 bulan mendatang. Setiap hari selama 1 bulan dia dan Miya
selalu menyapaku dengan senyuman dan bertanya “Ada perubahan?”, aku selalu
menggelengkan kepalaku, dan tanpa terasa aku selalu tersenyum saat menjawabnya,
aku hanya berpikir “Bukankah itu pertanyaan yang aneh?”. Setiap kali aku
melakukan kesalahan sekecil apapun saat latihan, dia selalu menggantikanku
mengatakan maaf, hingga aku merasa tak enak dan harus mengatakan maaf sendiri
sebelum diwakilkan olehnya. Setiap kali dia bersamaku saat latihan, dan saat
aku tak menyapa teman yang lainnya, dia selalu menggantikanku menyapa dan
mengatakan “Dia ingin menyapamu, hanya saja dia malu” hingga aku menyapanya dan
tak perlu lagi digantikan. Meskipun terkadang aku merasa risih dengan sikapnya,
secara sadar atau tidak, aku mulai berubah, bukan aku yang mengatakannya tapi
teman-teman disekelilingku. Banyak sekali yang mengatakan “Aku suka Nia yang
seperti ini” dan entah mengapa aku juga menyukainya. Jika saat istirahat aku
dulu lebih suka duduk di kelas, sekarang aku lebih suka keluar pergi ke kantin
dan mencari orang yang berperan merubahku. Aneh memang, tapi aku ingin menjadi
orang yang selalu menyapanya.
“Ada
perubahan? Rasanya sekarang kau sering sekali berbicara dan tersenyum” tanyanya
mengagetkanku saat aku di kantin
“Menurutmu?”
tanyaku balik sambil tersenyum
“Cukup
banyak, namun masih belum cukup” jawabnya meyakinkan
“Apa
maksudnya, usahamu pun untuk merubahku tidak kentara” balasku sambil sedikit
tertawa
“Benarkah
tidak kentara sama sekali?” Jawabnya sambil membalas tawaku
“Tidak”
sambil meminum minuman kaleng didepanku
“Oh ya,
besok adalah hari perlombaannya, apa kau sudah siap?”
“Dulu aku
sedikit acuh dan cenderung tak peduli apakah aku bisa atau tidak, tapi aku
sekarang gugup dan menurutku itu seru”
“Baiklah semoga besok berhasil, Good Luck” sambil mengangkat kedua tangannya seperti memberi
semangat
“Good Luck” balasku juga
Hari perlombaan
telah tiba, tapi entah mengapa jadwal kegiatannya berubah, yang pada awalnya
acara pembukaan pukul 8 pagi berubah menjadi pukul 2 siang. Mengetahui hal itu,
pihak sekolah memutuskan untuk berangkat pukul 10 pagi untuk mengantisipasi
kendala yang mungkin terjadi. Perjalanan menuju lokasi perlombaan tidak
berjalan lancar, karena tiba-tiba hujan turun mengguyur jalanan yang akan
dilewati. Aku dengan sabar menanti 3 jam perjalanan di dalam ruang tertutup
yang sedang berjalan ini, hingga akhirnya benda yang kunaiki berhenti di lokasi
tujuan dengan selamat. Sesampainya disana, tiba-tiba aku dan yang lainnya
mendengar pengumuman yang menyatakan beberapa hasil perlombaan hari ini telah
keluar. Dengan cepat, ketua tim berlari pergi menuju mading pengumuman dan
melihat jadwal acaranya, betapa terkejutnya aku saat ketua tim mengatakan bahwa
perlombaan dimulai pukul 8 pagi tetapi upacara pembukaan pukul 2 siang. Aneh
sekali, “Karena bagaimana mungkin acara sebesar ini, upacara pembukaan terletak
ditengah-tengah acara?” batinku kesal. Rasanya aku benar-benar ingin marah
karena lomba yang aku ikuti telah terlaksana tanpa ada aku disana. Karena masih
tersisa 2 perlombaan untuk hari ini, ketua tim memutuskan untuk tetap mengikuti
perlombaan, “Lagipula bukankah masih ada perlombaan untuk esok dan lusa?”
katanya meyakinkan. Akhirnya pembina mengijinkan kami untuk mengikuti sisa
lomba yang ada. Pukul 02.00 siang, kami mengikuti acara pembukaan, tiba-tiba
senior kami menginstruksikan untuk meninggalkan upacara dan berkumpul di tempat
yang telah ditentukan oleh pembina. Aku terkejut dan ingin semakin marah
rasanya saat pembina mengatakan bahwa pihak sekolah memutuskan untuk kembali
kesekolah dan meninggalkan perlombaan. Pembina mencoba memberikan penjelasan
mengapa kepala sekolah bertindak demikian, pembimbingku juga ikut menjelaskan
dan mencoba menenangkan dengan mengatakan “Jangan menangis, masih ada
kesempatan yang lainnya”, tapi entah mengapa rasanya aku hanya ingin tambah
menangis saat pembimbingku mengatakan seperti itu. Aku hanya ingin marah
rasanya dan mengatakan kata-kata yang ingin aku luapkan. Aku hanya ingin marah
dan ingin semuanya tahu, tentang
besarnya usaha dan keringatku, tentang banyaknya materi yang telah dikeluarkan
sekolahku, tentang perjuangan guru pembina, pembimbing dan teman-temanku,
tentang mahalnya waktuku, tentang sakitnya perasaan saat mereka tidak
menganggapku dan tentang buruknya kenangan ini untukku. Aku berpikir mungkin
sifat pemarahku yang dulu akan muncul untuk meluapkan rasa amarahku yang telah
membesar. Tapi diluar dugaan, aku hanya menangis pelan dan mencoba untuk
menghentikan tangisanku tanpa merutukinya. Meski disitu aku mencoba menahan
rasa sakitnya, namun disitu pula aku merasa nyaman dengan sikap bijakku. Aku
mencoba lagi untuk tetap lebih tenang saat melihat Miya dan mas Ahmad berusaha
keras menahan emosinya seperti halnya diriku, terlihat sekali dari matanya yang
benar-benar merah dan air mata yang keluar membasahi pipinya. Setelah tenang,
kami semua bergegas untuk kembali ke sekolah dan berjanji untuk tidak merutuki
dan mengungkit kejadian ini lagi. Sesampainya di sekolah, aku langsung
membersihkan diri dan berkumpul bersama yang lainnya, mengelilingi api unggun
yang telah kami buat sendiri
“Tidak
ingin marah atau menangis?” tanyanya tiba-tiba sambil duduk disampingku
“Tidak,
karena aku orang baik jadi aku tidak perlu melakukannya” jawabku tersenyum
“Bagaimana
jikalau dirimu yang dulu?”
“Mungkin
aku akan pulang kerumah, marah-marah dan menangis sejadi-jadinya, meskipun
awalnya aku mengatakan tidak peduli, tapi aku pasti akan tetap seperti itu
jikalau kerja kerasku tidak dihargai”
“Ada
perubahan?” tanyanya
“Huh?”
tanyaku heran
“Mungkin
ini hari terakhirku bertanya seperti itu”
“Cukup
banyak, namun masih belum cukup” jawabku pelan
“Kau
seperti ingin menangis? Menangis saja” tanyanya pelan sambil sedikit tertawa
“Tidak
sama sekali” balasku tegas sambil mengusap mataku yang sudah berair
“JUST
BE YOUR SELF”
“Menjadi
diriku yang baik seperti ini?”
“Terserah”
sambil tersenyum menghadapku
“Jujur
saja, aku senang bisa mengenalmu dan memiliki teman sepertimu” Ucapku tiba-tiba
tanpa melihat kearahnya
“Ya, aku
juga” jawabnya masih dengan tawa kecilnya. “Hufft, aku jadi ingin bertanya
kalau seperti ini, apa kau mengenalku sebelum kejadian aku menyapamu di kelas?”
“Tidak”
jawabku cepat
“Kau
berbohong kan? Kau sudah mengenalku sebelum itu, wajahmu saja mengatakan bahwa
kau berbohong”
“Tidak,
aku tidak berbohong. Ah, aku tarik saja kata-kataku. Aku tidak senang
mengenalmu” jawabku sebal
“Jadi,
kau tidak senang bisa mengenalku?” Tanya Miya yang tiba-tiba datang sambil
memelukku dari belakang
“Aku
tidak senang bisa mengenalnya. Bukan denganmu. Aku tentu saja senang bisa
mengenalmu, Miyaku” jawabku sambil membalas pelukannya, sedangkan dia tertawa
kecil melihat kami
[Epilog]
Bukankah
semua orang memiliki kelemahan dibalik kelebihannya? Itupun juga sama halnya
denganku. Dibalik sikapku, tindakanku dan keputusanku hari ini. Ada sikap,
tindakan dan keputusan lainnya yang terkubur di hari kemarin. Hanya karena
niatnya tidak tulus, bukan berarti prosesnya juga demikian. Aku hanya ingin
sesuatu yang lebih baik untukku kedepannya, jadi aku hanya perlu mengenali lagi
siapa diriku, dan bagaimana diriku sebenarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar