Rabu, 15 Maret 2017

Choirotun Hanifah
Siapa Aku

Namaku Rahmania Putri. Teman-teman memanggilku Nia. Umurku 18 tahun. Aku tak memiliki hobi yang spesifik, selama aku menyukai kegiatan itu, kurasa itu hobiku. Aku mudah sekali tersenyum dan tertawa, bahkan hanya dengan melihat orang tertawa, akupun juga akan ikut tertawa. Aku memiliki banyak teman yang cukup membuatku nyaman, meski terkadang mereka sedikit menyebalkan dengan gurauan yang terkadang tidak lucu dan membuat orang salah paham. Aku menyukai kegiatan sosial dan organisasi. Aku cukup pintar dalam pelajaran eksak dan olahraga, tapi tak cukup pandai dalam hal memasak, menjahit dan menyulam. Banyak dari temanku mengatakan bahwa aku orang yang cukup baik, meski beberapa dari mereka juga ada yang membenciku, tapi kupikir itu tak masalah, karena itu adalah hal yang wajar. Motto hidupku adalah “BE YOUR SELF”. Dengan kata lain, aku mengetahui betul bagaimana diriku sekarang yang sebenarnya, dan bagaimana diriku dulu yang sebenarnya.
[5 tahun lalu]
Hari ini adalah hari pertamaku masuk sekolah setelah liburan panjang. Aku adalah siswa kelas 8 di sebuah sekolahan yang cukup ternama. Aku bukanlah orang yang mudah untuk bergaul dengan teman sebaya, aku seperti itu karena aku berfikir mungkin memiliki banyak teman bukanlah sesuatu yang baik untukku. Motto hidupku adalah “WHAT GOES AROUND, COMES AROUND”, ‘Apa yang kau tanam itulah yang akan kau petik’. Aku menyukai semua pelajaran ilmu pasti, jadi tak heran kalau jam pelajaran yang bisa membuatku senang adalah matematika dan ipa. Aku tak memiliki cukup banyak teman yang bisa membuatku nyaman disini. Aku cenderung pendiam, sedikit pemarah dan tidak mau tahu.
“Nia kau tidak ingin ke kantin?” tanya Miya
“Kurasa tidak” jawabku singkat
(Namanya Miya Anisa. Dia adalah teman sekelasku yang duduk sebangku denganku. Dia juga pintar dalam pelajaran matematika dan ipa, baik biologi, fisika maupun kimia. Semua kelebihannya secara intelektual hampir sama denganku, tetapi dia jauh berbeda dariku. Bukan karena kelebihan lain yang dimilikinya seperti menjahit, memasak dan menyulam, tetapi sikap serta etikanya yang jauh berbeda dariku. Dia memiliki cukup banyak teman, tidak sepertiku yang hanya memiliki beberapa. Dia juga sangat menyukai kegiatan organisasi, tidak hanya kegiatan organisasi dilingkungan sekolah saja yang diikutinya tetapi juga kegiatan organisasi dilingkungan rumahnya. Dia terlihat sering menyapa teman sebayanya dimanapun dia berada, dia juga jarang sekali mengacuhkan temannya yang sedang berbicara, dan bahkan sesekali dia juga terlihat menolong temannya yang mungkin juga tak dikenalnya. Tak heran, jika banyak sekali yang mengatakan dia orang yang baik meski mereka tak cukup mengenalnya)
Seperti biasa, hari ini sekolah selesai pukul 02.30 siang. Aku terpaksa harus pulang sendiri, karena Miya memiliki urusan keorganisasian yang diikutinya. Setelah merapikan bukuku, aku langsung beranjak pergi dan bergegas pulang. Saat sampai dipintu kelas, aku melihat Miya sedang berbincang-bincang dengan seseorang di depan masjid, aku tak ingat pasti siapa nama lengkapnya, yang jelas aku pertama kali bertemu dengannya saat moment halal bihalal tahun lalu saat aku masih duduk di kelas 7. Jujur saja aku sedikit kagum dengannya mungkin lebih tepatnya dengan etikanya, karena saat itu, dia secara tiba-tiba meminta maaf padaku. Mungkin aku yang berlebihan menganggap perminta-maafan darinya, dan  mungkin semua orang akan beranggapan bahwa itu adalah hal yang wajar untuk dilakukan, tapi bagiku, itu bukanlah hal yang sama sekali dapat dianggap wajar, karena itu adalah moment untuk pertama kalinya bagiku mendapatkan perminta-maafan dari seseorang yang tidak mengenalku dan bahkan tidak memiliki kesalahan terhadapku. Dia terlihat seperti orang yang sangat baik, hingga terkadang aku merutuki sikap burukku jika sedang melihatnya.
Keesokan harinya aku bertemu dengan Miya, dia mengatakan kepadaku bahwa aku akan mengikuti perlombaan untuk 1 bulan mendatang dalam bentuk tim.  Jujur saja, ini bukan pertama kalinya sekolah menunjukku untuk mengikuti kegiatan perlombaan, tapi ini untuk pertama kalinya aku mengikuti lomba dalam bentuk tim, dan entah mengapa aku merasa sangat bersemangat sekali menanggapinya.
--- Saat pulang sekolah---
Dipercaya itu memang bukanlah hal yang mudah. Jikalau mudah, mungkin aku tidak akan menunggu anggota tim lainnya sendirian di dalam kelas seperti ini. Aku ingin menarik kata-kataku bahwa aku sangat bersemangat untuk perlombaan kali ini, karena nyatanya ini benar-benar membosankan dan menyebalkan. “Sedang menunggu?” sapa seseorang tiba-tiba. Aku terkejut dengan suara yang barusan menyapaku. “Ya” jawabku singkat. Aku tidak tahu kalau orang itu akan ikut dalam perlombaan kali ini.
“Maaf, jam pelajaran terakhir memang lama. Kau temannya Miya kan?”
“Iya”
“Miya tidak denganmu?”
“Kami tidak satu kelas”
“Kau menyebalkan ya ternyata”
“Huh?”
“Jawabanmu singkat sekali. Apakah kau tidak penasaran dengan orang yang menyapamu ini?”
Aku terdiam sejenak sambil melihat orang didepanku. Orang yang didepanku saat ini memiliki nama panggilan Ahmad, dia anak kelas 9-4 yang artinya dia adalah anak kelas unggulan. Dia memiliki hubungan saudara dengan teman sekelasku. Dia mengikuti kegiatan ektrakulikuler Albanjari. Dia menyukai pelajaran Bahasa Indonesia, dan dia adalah orang yang disukai teman sebangkuku saat ini saat masih SD, dan tak lupa dia adalah orang yang meminta maaf padaku secara tiba-tiba pada moment halal bihalal tahun lalu.
“Tidak” jawabku singkat sambil mengambil buku didalam tasku
   “Jikalau aku boleh menyarankan, kurasa kau harus mengubah sedikit sifatmu yang menyebalkan, bukan bermaksud menasehatimu, ini untuk perlombaan 1 bulan mendatang, kita akan dikirim sebagai tim, jadi sudah seharusnya kau bersikap baik dengan yang lainnya untuk menjaga kekompakan. Aku ulangi sekali lagi, aku bukan bermaksud menasehatimu, hanya berpikir yang terbaik untuk perlombaan.”
“Aku akan mengusahakannya, lagipula aku suka dengan alasan itu, apa Miya yang menyuruhnya?”
“Aku akan membantumu”
“Terserah, aku tidak peduli”
“Namaku Ahmad anak kelas 9-4” pernyataan yang singkat dan dia berlalu pergi
Seperti yang dikatakan dikelas, dia akan membantuku mengubah sifatku, tapi aku tidak tahu apa maksudnya, yang kutahu dia memperkenalkanku ke seluruh anak yang akan mengikuti perlombaan 1 bulan mendatang. Setiap hari selama 1 bulan dia dan Miya selalu menyapaku dengan senyuman dan bertanya “Ada perubahan?”, aku selalu menggelengkan kepalaku, dan tanpa terasa aku selalu tersenyum saat menjawabnya, aku hanya berpikir “Bukankah itu pertanyaan yang aneh?”. Setiap kali aku melakukan kesalahan sekecil apapun saat latihan, dia selalu menggantikanku mengatakan maaf, hingga aku merasa tak enak dan harus mengatakan maaf sendiri sebelum diwakilkan olehnya. Setiap kali dia bersamaku saat latihan, dan saat aku tak menyapa teman yang lainnya, dia selalu menggantikanku menyapa dan mengatakan “Dia ingin menyapamu, hanya saja dia malu” hingga aku menyapanya dan tak perlu lagi digantikan. Meskipun terkadang aku merasa risih dengan sikapnya, secara sadar atau tidak, aku mulai berubah, bukan aku yang mengatakannya tapi teman-teman disekelilingku. Banyak sekali yang mengatakan “Aku suka Nia yang seperti ini” dan entah mengapa aku juga menyukainya. Jika saat istirahat aku dulu lebih suka duduk di kelas, sekarang aku lebih suka keluar pergi ke kantin dan mencari orang yang berperan merubahku. Aneh memang, tapi aku ingin menjadi orang yang selalu menyapanya.
“Ada perubahan? Rasanya sekarang kau sering sekali berbicara dan tersenyum” tanyanya mengagetkanku saat aku di kantin
“Menurutmu?” tanyaku balik sambil tersenyum
“Cukup banyak, namun masih belum cukup” jawabnya meyakinkan
“Apa maksudnya, usahamu pun untuk merubahku tidak kentara” balasku sambil sedikit tertawa
“Benarkah tidak kentara sama sekali?” Jawabnya sambil membalas tawaku
“Tidak” sambil meminum minuman kaleng didepanku
“Oh ya, besok adalah hari perlombaannya, apa kau sudah siap?”
“Dulu aku sedikit acuh dan cenderung tak peduli apakah aku bisa atau tidak, tapi aku sekarang gugup dan menurutku itu seru”
“Baiklah semoga besok berhasil, Good Luck” sambil mengangkat kedua tangannya seperti memberi semangat
Good Luck” balasku juga
Hari perlombaan telah tiba, tapi entah mengapa jadwal kegiatannya berubah, yang pada awalnya acara pembukaan pukul 8 pagi berubah menjadi pukul 2 siang. Mengetahui hal itu, pihak sekolah memutuskan untuk berangkat pukul 10 pagi untuk mengantisipasi kendala yang mungkin terjadi. Perjalanan menuju lokasi perlombaan tidak berjalan lancar, karena tiba-tiba hujan turun mengguyur jalanan yang akan dilewati. Aku dengan sabar menanti 3 jam perjalanan di dalam ruang tertutup yang sedang berjalan ini, hingga akhirnya benda yang kunaiki berhenti di lokasi tujuan dengan selamat. Sesampainya disana, tiba-tiba aku dan yang lainnya mendengar pengumuman yang menyatakan beberapa hasil perlombaan hari ini telah keluar. Dengan cepat, ketua tim berlari pergi menuju mading pengumuman dan melihat jadwal acaranya, betapa terkejutnya aku saat ketua tim mengatakan bahwa perlombaan dimulai pukul 8 pagi tetapi upacara pembukaan pukul 2 siang. Aneh sekali, “Karena bagaimana mungkin acara sebesar ini, upacara pembukaan terletak ditengah-tengah acara?” batinku kesal. Rasanya aku benar-benar ingin marah karena lomba yang aku ikuti telah terlaksana tanpa ada aku disana. Karena masih tersisa 2 perlombaan untuk hari ini, ketua tim memutuskan untuk tetap mengikuti perlombaan, “Lagipula bukankah masih ada perlombaan untuk esok dan lusa?” katanya meyakinkan. Akhirnya pembina mengijinkan kami untuk mengikuti sisa lomba yang ada. Pukul 02.00 siang, kami mengikuti acara pembukaan, tiba-tiba senior kami menginstruksikan untuk meninggalkan upacara dan berkumpul di tempat yang telah ditentukan oleh pembina. Aku terkejut dan ingin semakin marah rasanya saat pembina mengatakan bahwa pihak sekolah memutuskan untuk kembali kesekolah dan meninggalkan perlombaan. Pembina mencoba memberikan penjelasan mengapa kepala sekolah bertindak demikian, pembimbingku juga ikut menjelaskan dan mencoba menenangkan dengan mengatakan “Jangan menangis, masih ada kesempatan yang lainnya”, tapi entah mengapa rasanya aku hanya ingin tambah menangis saat pembimbingku mengatakan seperti itu. Aku hanya ingin marah rasanya dan mengatakan kata-kata yang ingin aku luapkan. Aku hanya ingin marah dan ingin semuanya tahu,  tentang besarnya usaha dan keringatku, tentang banyaknya materi yang telah dikeluarkan sekolahku, tentang perjuangan guru pembina, pembimbing dan teman-temanku, tentang mahalnya waktuku, tentang sakitnya perasaan saat mereka tidak menganggapku dan tentang buruknya kenangan ini untukku. Aku berpikir mungkin sifat pemarahku yang dulu akan muncul untuk meluapkan rasa amarahku yang telah membesar. Tapi diluar dugaan, aku hanya menangis pelan dan mencoba untuk menghentikan tangisanku tanpa merutukinya. Meski disitu aku mencoba menahan rasa sakitnya, namun disitu pula aku merasa nyaman dengan sikap bijakku. Aku mencoba lagi untuk tetap lebih tenang saat melihat Miya dan mas Ahmad berusaha keras menahan emosinya seperti halnya diriku, terlihat sekali dari matanya yang benar-benar merah dan air mata yang keluar membasahi pipinya. Setelah tenang, kami semua bergegas untuk kembali ke sekolah dan berjanji untuk tidak merutuki dan mengungkit kejadian ini lagi. Sesampainya di sekolah, aku langsung membersihkan diri dan berkumpul bersama yang lainnya, mengelilingi api unggun yang telah kami buat sendiri
“Tidak ingin marah atau menangis?” tanyanya tiba-tiba sambil duduk disampingku
“Tidak, karena aku orang baik jadi aku tidak perlu melakukannya” jawabku tersenyum
“Bagaimana jikalau dirimu yang dulu?”
“Mungkin aku akan pulang kerumah, marah-marah dan menangis sejadi-jadinya, meskipun awalnya aku mengatakan tidak peduli, tapi aku pasti akan tetap seperti itu jikalau kerja kerasku tidak dihargai”
“Ada perubahan?” tanyanya
“Huh?” tanyaku heran
“Mungkin ini hari terakhirku bertanya seperti itu”
“Cukup banyak, namun masih belum cukup” jawabku pelan
“Kau seperti ingin menangis? Menangis saja” tanyanya pelan sambil sedikit tertawa
“Tidak sama sekali” balasku tegas sambil mengusap mataku yang sudah berair
“JUST BE YOUR SELF”
“Menjadi diriku yang baik seperti ini?”
“Terserah” sambil tersenyum menghadapku
“Jujur saja, aku senang bisa mengenalmu dan memiliki teman sepertimu” Ucapku tiba-tiba tanpa melihat kearahnya
“Ya, aku juga” jawabnya masih dengan tawa kecilnya. “Hufft, aku jadi ingin bertanya kalau seperti ini, apa kau mengenalku sebelum kejadian aku menyapamu di kelas?”
“Tidak” jawabku cepat
“Kau berbohong kan? Kau sudah mengenalku sebelum itu, wajahmu saja mengatakan bahwa kau berbohong”
“Tidak, aku tidak berbohong. Ah, aku tarik saja kata-kataku. Aku tidak senang mengenalmu” jawabku sebal
“Jadi, kau tidak senang bisa mengenalku?” Tanya Miya yang tiba-tiba datang sambil memelukku dari belakang
“Aku tidak senang bisa mengenalnya. Bukan denganmu. Aku tentu saja senang bisa mengenalmu, Miyaku” jawabku sambil membalas pelukannya, sedangkan dia tertawa kecil melihat kami
[Epilog]
Bukankah semua orang memiliki kelemahan dibalik kelebihannya? Itupun juga sama halnya denganku. Dibalik sikapku, tindakanku dan keputusanku hari ini. Ada sikap, tindakan dan keputusan lainnya yang terkubur di hari kemarin. Hanya karena niatnya tidak tulus, bukan berarti prosesnya juga demikian. Aku hanya ingin sesuatu yang lebih baik untukku kedepannya, jadi aku hanya perlu mengenali lagi siapa diriku, dan bagaimana diriku sebenarnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar