Rabu, 22 Maret 2017

Nita Emelya Anischa
Ups! Kreek!

Jika ada yang membicarakan gadis dengan tas kulit, berpipi tembem dan memiliki dua gigi gingsul sebagai pemanis. Itulah aku. Lya, begitu biasanya aku disapa. Seorang gadis yang dibicarakan banyak orang. Ya, mungkin karena kisah cintaku yang sering kandas.
                Tidak seperti biasanya, awal masuk sekolah minggu ini, aku kurang bersemangat. Aku harus duduk di deretan bangku sebelah Amin, itulah salah satu alasanku. Cowok kurus berperawakan tinggi yang kabarnya sih, sempat mengagumiku. Sikap Amin yang menurutku agak aneh dan absurd membuatku sedikit risih.
                Hari ini pelajaran ekonomi dimulai lebih awal dengan mengerjakan soal latihan. Aku dengan sedikit menggerutu mulai mengerjakan soal yang mungkin jika dijabarkan, jawabannya bisa lebih dari delapan belas lembar.
                “Ly, Lya.” suara Rifki teman sebangku Amin membuyarkan konsentrasiku.
                “Apaan sih?” jawabku kesal.
                “Ini lo Ly, kamu dipanggil Amin, mau minta ajarin katanya.” (Tersenyum sambil menunjuk Amin).
Kulempar pandanganku kearah Amin dengan tatapan ketus. Amin hanya bisa menggeleng dengan menampakkan wajah bingung.
                “Ly Lya, Ly, Lya” Rifki terus memanggilku.
Kutatap Rifqi dengan mengangkat kepalan tangan. Kukira dengan begitu ia akan berhenti memanggilku.
                “Ly Lya, Ly, Lya” Sial! Ternyata dugaanku salah! Kali ini Amin sendiri yang memanggilku. Kutatap Amin dengan wajah geram, “Apa?” dengan menyipitkan mata, Amin menunjuk kearah belakangku. Ups, mungkin ini maksud mereka memanggilku. Baju daleman seragamku terangkat sampai punggung. Dengan wajah sok gak ngefek, aku membenahkan bajuku.
                Sembari menahan malu, aku kembali mengerjakan soal latihan. Belum sampai satu nomor selesai. “Plak!” Remasan kertas mendarat dikepalaku.
“Sial!” Batinku geram.
Lagi, Amin. Dengan gaya absurdnya yang khas, ia menutup matanya sambil menunjuk kearah remasan kertas tadi. Kuambil kertas itu dengan sedikit kesal.
                “Ha?!” Wajahku memerah seketika setelah aku selesai membaca kertas yang bertuliskan..
Sorry Ly, resletingmu kebuka, sorry banget Lya.
Aku cuma mau kasih tahu.
“Krek!” Spontan aku menutup resletingku, sembari membalikkan badan. Terlihat raut wajah Amin menahan tawa.
                “Cie, Lya cie”, suara Rifki membuatku menoleh kembali.
                “Kamu apain Lya, Min?”
“Amin, Stop! Jangan kasih tahu Rifki !”
Amin hanya bias tertawa melihatku.

                Oh My God, kebayangkan gimana malunya aku waktu itu? Ya, semoga saja hanya aku dan Amin (dan pastinya Tuhan) yang tahu warna celana dalamku pada waktu itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar