Nita Emelya Anischa
Ups!
Kreek!
Jika ada yang membicarakan gadis dengan tas kulit,
berpipi tembem dan memiliki dua gigi gingsul sebagai pemanis. Itulah aku. Lya,
begitu biasanya aku disapa. Seorang gadis yang dibicarakan banyak orang. Ya,
mungkin karena kisah cintaku yang sering kandas.
Tidak
seperti biasanya, awal masuk sekolah minggu ini, aku kurang bersemangat. Aku
harus duduk di deretan bangku sebelah Amin, itulah salah satu alasanku. Cowok
kurus berperawakan tinggi yang kabarnya sih, sempat mengagumiku. Sikap Amin
yang menurutku agak aneh dan absurd
membuatku sedikit risih.
Hari
ini pelajaran ekonomi dimulai lebih awal dengan mengerjakan soal latihan. Aku
dengan sedikit menggerutu mulai mengerjakan soal yang mungkin jika dijabarkan,
jawabannya bisa lebih dari delapan belas lembar.
“Ly,
Lya.” suara Rifki teman sebangku Amin membuyarkan konsentrasiku.
“Apaan
sih?” jawabku kesal.
“Ini
lo Ly, kamu dipanggil Amin, mau minta ajarin katanya.” (Tersenyum sambil
menunjuk Amin).
Kulempar pandanganku kearah
Amin dengan tatapan ketus. Amin hanya bisa menggeleng dengan menampakkan wajah
bingung.
“Ly
Lya, Ly, Lya” Rifki terus memanggilku.
Kutatap Rifqi dengan
mengangkat kepalan tangan. Kukira dengan begitu ia akan berhenti memanggilku.
“Ly
Lya, Ly, Lya” Sial! Ternyata dugaanku salah! Kali ini Amin sendiri yang
memanggilku. Kutatap Amin dengan wajah geram, “Apa?” dengan menyipitkan mata,
Amin menunjuk kearah belakangku. Ups, mungkin ini maksud mereka memanggilku.
Baju daleman seragamku terangkat
sampai punggung. Dengan wajah sok gak
ngefek, aku membenahkan bajuku.
Sembari
menahan malu, aku kembali mengerjakan soal latihan. Belum sampai satu nomor
selesai. “Plak!” Remasan kertas mendarat dikepalaku.
“Sial!” Batinku geram.
Lagi, Amin. Dengan gaya absurdnya yang khas, ia menutup matanya
sambil menunjuk kearah remasan kertas tadi. Kuambil kertas itu dengan sedikit
kesal.
“Ha?!”
Wajahku memerah seketika setelah aku selesai membaca kertas yang bertuliskan..
Sorry Ly, resletingmu kebuka, sorry banget Lya.
Aku cuma mau kasih tahu.
“Krek!” Spontan aku menutup
resletingku, sembari membalikkan badan. Terlihat raut wajah Amin menahan tawa.
“Cie,
Lya cie”, suara Rifki membuatku menoleh kembali.
“Kamu
apain Lya, Min?”
“Amin, Stop! Jangan kasih
tahu Rifki !”
Amin hanya bias tertawa
melihatku.
Oh My God, kebayangkan gimana malunya
aku waktu itu? Ya, semoga saja hanya aku dan Amin (dan pastinya Tuhan) yang
tahu warna celana dalamku pada waktu
itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar