Rabu, 22 Maret 2017

Baiti Firdausah
Basket Dunia Baru

Friska, seorang cewek cantik, perawakan modelling. Itu sedikit gambaran tentang seorang Friska pacar baru Kak Ian. Kak Ian adalah cowok yang kutaksir dari dulu hingga saat ini. Aku hanya bisa mengaguminya dibalik layar. Tapi, kalau aku ketemu langsung dengan dia, rasanya aku ingin pingsan. Aku mengenal Kak Ian sebelum Friska mengenalnya. Aku mengaguminya sejak aku masuk pertama kalinya di club basket ini. Umur kami memang terpaut 1 tahun. Tapi itu tak menyurutkanku untuk tetap mengaguminya. Aku mengerti, hampir seantero sekolah tahu siapa Kak Ian. Seorang kapten basket sekolah kami. Tak salah bila seorang Kak Ian menjadi idam-idaman cewek 1 sekolah dan dapat pacar cantik seperti Friska. Meskipun begitu, aku tak pernah pantang menyerah untuk mendapatkan Kak Ian.
Berbagai cara sudah aku lakukan untuknya. Seperti barusan, aku mendorongnya yang hampir terkena bola volly saat Kak Ian melintasi taman yang dekat lapangan volly. Hasilnya, Nol. Aku malah membuat dirinya malu karena aku malah menjatuhkannya ke kolam ikan. Kak Ian memandangku dengan tatapan tak enak. Bukannya semakin dekat dengannya, aku malah dijadikan musuh oleh Kak Ian. Hal ini malah mempersulit keadaanku. Aku yang sudah pasrah selama 6 bulan ini, hanya terdiam, tertunduk lesu di bawah pohon Linden. 
Aku merasa bersalah dengan apa yang aku lakukan padanya. Karena aku sudah bosan memikirkannya, aku berniat untuk pulang dan bermain basket saja untuk menghilangkan stress ku. Sewaktu aku beranjak akan pulang, aku melihat Friska di jemput oleh mobil bewarna merah yang ternyata itu Kak Ian. Aku yang melihat hal itu, hanya tertunduk dan berjalan kearah rumahku yang berada persis di seberang Lapangan Basket. Aku segera masuk dan langsung berganti pakaian dengan membawa bola basket kesayanganku.
“Eh, Rinda, kamu gak mau makan dulu?” Tanya Mama.
“Nggak Ma, aku lagi gak nafsu makan, aku mau main basket aja”
“Yaudah terserah kamu, tapi jangan sore-sore pulangnya. Nanti kalo Papa kamu tau kamu dimarahin“
“Sip “
Setelah mengambil 1 buah apel yang ada diatas meja makan, aku segera menuju lapangan basket yang berada persis di depan rumahku. Dengan memainkan bola basketku, saat itu juga aku menyantap apel yang kuambil tadi. Tapi entah aku yang salah atau pengendara mobil itu, aku hampir tertabrak mobil yang bewarna merah itu. Tapi tunggu, bukannya itu mobil Kak Ian? Aku tak melihat siapa yang berada di dalam mobil itu. Yang ada di pikiranku, aku masih selamat. Kubiarkan saja orang itu melewatiku begitu saja tanpa mengucapkan kata maaf sedikitpun. Aku hanya menggeleng tak percaya dengan ulah orang tersebut. Hari itu, memang tiada orang yang memakai lapangannya. Dengan begini, aku bisa lebih leluasa untuk bermain basket. Sudah 1 jam lebih aku bermain sendirian dengan permainanku yang kacau. 
Aku tak memperdulikannya. Yang aku rasakan hanya rasa letih. Sampai aku lupa membawa air minum. Rasanya begitu kering tenggorokanku. Tapi tiba-tiba ada yang memberikan sebotol minuman kepadaku. Aku langsung melihat siapa malaikat yang memberi ku minum. Ini aku gak salah liat kan? Ini bener Kak Ian Pratama kapten basket itu? Karena aku belum percaya aku langsung menunduk dan memukul wajahku sendiri. Sakit. Berarti ini sungguhan.
“Hey, ini gak mau diterima?” tanyanya sambil menggerakkan botol minuman itu.
“O, boleh juga, thanks ya.“ jawabku gugup.
“Iya sama-sama. Sorry ya soal tadi.“ ucapnya sambil duduk disebelahku.
Aku masih belum percaya kalau yang duduk disampingku ini pangeran yang aku dambakan dari dulu. Rasanya aliran darahku berhenti. Jantungku berdegup 2x lebih cepat, aku takut Kak Ian mendengar detak jantungku.
“Soal apa?” tanyaku polos sok tak megerti.
“Tadi yang hampir nabrak kamu itu aku.”
“Oh, jadi kakak tadi itu?” Tiba-tiba aku tak bisa marah dengan orang yang hampir merenggut nyawaku tadi.
“Tadi aku buru-buru, makanya aku gak liat kamu lewat. “
“Iya gak papa kok, lain waktu hati-hati ya, untung tadi cuma aku” jawabku seolah pasrah dengan keadaan.
“Kamu main sendirian?”
“Iya, lagi pula, biasanya banyak juga sih yang main, tapi tumben-tumbenan sepi banget “
“Gimana kalo kita main bareng?”
“Haa, main bareng? Sama Kakak?” tanyaku kaget mendengar ucapan Kak Ian.
“Iya, emang kenapa? Kamu gak mau main bareng sama aku?”
“Bu.. bukannya gitu, tapi dibandingin sama Kakak, ya mainku kacau lah” tiba-tiba gagap gara-gara Kak Ian.
“Gak papa, Cuma buat have fun aja kan, ayolah “
“Okelah kalau kakak maksa, tapi masa kakak mau main pakek seragam lengkap kaya gini?” tanyaku dengan mencuri pandangan untuk melihat Kak Ian
“Iya, lagian mau pakek baju apapun gak masalah buat aku”
“Iyalah, kakak kan jago “
“Gak juga kok, yuk main, “
Aku memulai dengan melempar bola kepada Kak Ian dan mencoba merebut bola itu dari Kak Ian. Entah apa yang merasuki ragaku, permainanku penuh dengan lamunan, hingga pada akhirnya saat Kak Ian melempar bola kepadaku, malah kepalaku yang terkena bola.
“Aduhhhh ..” jeritku.
“Duh Rin, sorry banget ya aku gak sengaja tadi” ucap Kak Ian sambil menuntunku untuk duduk di kursi samping lapangan
“Iya kak, ini bukan salah kakak kok. Aww... aku juga tadi yang lagi ngelamun “
“Lagi ngelamunin apa sih Rin?” Tanya Kak Ian sambil membersihkan keringatnya
“Bukan apa-apa kok, oh iya, gimana hubungan kakak sama Friska?” ups, aku keceplosan karena rasa ingin tau ku.
“Oh, kami udah putus kok “
“Hah? Putus? Bukannya tadi kakak masih pulang bareng?” rasanya seperti turun dari langit ke-7 mendengar hal itu.
“Iya, tadi waktu di jalan dia merengek minta ditemenin ke salon. Tau sendiri, kalo aku gak suka sama cewek yang over. Makanya aku terlanjur jengkel sama dia, yaudah kami putus”
“Sesimple itukah?”
“Iya”
“Berarti ada harapan dong?” aduh aku keceplosan lagi gara-gara grogi dekat Kak Ian
“Hah? Maksud kamu gimana Rin?” Tanya Kak Ian heran
“Eh, gak kok, maksudnya cewek-cewek yang ngefans sama kakak gitu maksudnya”
“Oh, kirain kamu, eh..” wah ternyata Kak Ian mulai kasih kode nih, kesempatan bagus yang gak boleh disiakan.
“Hah, GR banget kak” jawabku akrab.
“Jangan panggil kak, panggi aja Ian”
“Ian, lebih simple kedengarannya “
Setelah kejadian itu, kami semakin akrab dan tak jarang Kak Ian mengajakku pulang bareng, nonton, apalagi main basket. Padahal mainku begitu kacau. Sampai suatu hari, di selang kami bermain basket, Kak Ian memberikanku segelas jus Jeruk untuk memulihkan tenaga kami. Tapi entah mengapa, ada benda kecil yang berkilau berada di dalam minumanku. Aku segera mengambil benda itu setelah minumanku habis. Ternyata sebuah cincin yang terbuat dari perak. Aku bingung apa maksud dengan semua ini.
“Kak, kok ada cincin disini?” tanyaku sambil memegangi cincin tersebut
“Ah masa?” Kak Ian kemudian mengambil cincin itu dari tanganku, kemudian kak Ian berlutut di hadapanku.
“Kak.. kakak mau ngapain?” tanyaku bingung.
“Rin, setelah aku mengenalmu dekat-dekat ini, aku merasa hidupku ada yang berbeda setelah mengenal kamu. Hari-hariku lebih bewarna sejak mengenal kamu. Rin, kamu mau gak jadi pacarku?”
Oh Neptunus, mimpi apalagi ini. Bukannya aku sudah terbangun dari tidurku semalam dengan air guyuran dari Mama?. Sengaja kucubit diriku sendiri. Berharap ini hanya sekedar mimpi saja. Aku hanya mengagumi Kak Ian. Walau ada sedikit niat untuk bisa mendapatkan Kak Ian. Tapi aku tau diri, siapa diriku sebenarnya. Aku bukan cewek dari kalangan menengah atas, kulit yang terawat oleh salon-salon mahal, pulang pergi dijemput mobil mewah. Aku gak punya semua itu.
“Tapi kak, aku gak seperti mereka.” jawabku lemas.
“Rin, kamu beda sama mereka. Aku suka kamu yang apa adanya, bukan ada apanya. Mereka kebanyakan mengincar ketampanan dan hartaku. Tapi aku gak nemuin itu sedikitpun di kamu Rin. Rin, aku juga gak maksa kalo kamu emang gak mau asal....”
“Kalo aku mau jadi pacar kakak gimana?”
“Hah?” jawab kak Ian kaget mendengar ucapanku.
“Aku gak bakal ngulang perkataanku 2x lo kak” jawabku sambil tersenyum tipis.
“Ya, apapun yang kamu minta, aku bakal berusaha buat ngabulin, gimana?”
“Oke. Ini gak mau dipakein cincinnya?” tanyaku karena cincinnya hanya dipegang.
“O iya lupa, yaudah aku pakein ya?”
Kak Ian mulai menyematkan cincin cantik itu di tanganku. Tampak berkilau. Aku hanya bisa tersenyum sembari memandangi cincin itu.
“Oh Iya sampai lupa lagi, kamu mau aku lakuin apa?”
“Oke,, aku minta kakak teriak sekeras-kerasnya, sampai orang-orang kompleks keluar dari rumahya”
“Terus aku teriak apa?”
“Kakak teriak ‘Hey, aku sayang banget sama kamu, Rinda’“
“Cuma gitu doang?”
“Itu udah lebih dari cukup kok“
“Oke, hey semua orang yang ada disini. Aku sayang banget sama Rinda. Aku gak mau kehilangan dia” teriak Kak Ian seperti orang gila.
Warga mulai bereaksi. Ada yang melempar sendal, tong sampah, sapu, dll. Aku dan Kak Ian lari bersama dan meninggalkan tempat itu. Tertawa-tawa senang atas kelakuan kami. Rasanya aku tak mau kehilangan moment dengan Kak Ian. Dari situ aku mengerti, berkat bola basket yang mengenai kepalaku, aku jadi dekat dengan Kak Ian. Cowok yang kutaksir selama ini.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar