Baiti Firdausah
Basket
Dunia Baru
Friska, seorang cewek cantik, perawakan modelling. Itu sedikit gambaran tentang
seorang Friska pacar baru Kak Ian. Kak Ian adalah cowok yang kutaksir dari dulu
hingga saat ini. Aku hanya bisa mengaguminya dibalik layar. Tapi, kalau aku
ketemu langsung dengan dia, rasanya aku ingin pingsan. Aku mengenal Kak Ian
sebelum Friska mengenalnya. Aku mengaguminya sejak aku masuk pertama kalinya di
club basket ini. Umur kami memang
terpaut 1 tahun. Tapi itu tak menyurutkanku untuk tetap mengaguminya. Aku
mengerti, hampir seantero sekolah tahu siapa Kak Ian. Seorang kapten basket
sekolah kami. Tak salah bila seorang Kak Ian menjadi idam-idaman cewek 1
sekolah dan dapat pacar cantik seperti Friska. Meskipun begitu, aku tak pernah
pantang menyerah untuk mendapatkan Kak Ian.
Berbagai
cara sudah aku lakukan untuknya. Seperti barusan, aku mendorongnya yang hampir
terkena bola volly saat Kak Ian
melintasi taman yang dekat lapangan volly.
Hasilnya, Nol. Aku malah membuat dirinya malu karena aku malah menjatuhkannya
ke kolam ikan. Kak Ian memandangku dengan tatapan tak enak. Bukannya semakin
dekat dengannya, aku malah dijadikan musuh oleh Kak Ian. Hal ini malah
mempersulit keadaanku. Aku yang sudah pasrah selama 6 bulan ini, hanya terdiam,
tertunduk lesu di bawah pohon Linden.
Aku
merasa bersalah dengan apa yang aku lakukan padanya. Karena aku sudah bosan
memikirkannya, aku berniat untuk pulang dan bermain basket saja untuk
menghilangkan stress ku. Sewaktu aku beranjak akan pulang, aku melihat Friska
di jemput oleh mobil bewarna merah yang ternyata itu Kak Ian. Aku yang melihat
hal itu, hanya tertunduk dan berjalan kearah rumahku yang berada persis di
seberang Lapangan Basket. Aku segera masuk dan langsung berganti pakaian dengan
membawa bola basket kesayanganku.
“Eh,
Rinda, kamu gak mau makan dulu?” Tanya Mama.
“Nggak
Ma, aku lagi gak nafsu makan, aku mau main basket aja”
“Yaudah
terserah kamu, tapi jangan sore-sore pulangnya. Nanti kalo Papa kamu tau kamu
dimarahin“
“Sip “
Setelah
mengambil 1 buah apel yang ada diatas meja makan, aku segera menuju lapangan
basket yang berada persis di depan rumahku. Dengan memainkan bola basketku,
saat itu juga aku menyantap apel yang kuambil tadi. Tapi entah aku yang salah
atau pengendara mobil itu, aku hampir tertabrak mobil yang bewarna merah itu.
Tapi tunggu, bukannya itu mobil Kak Ian? Aku tak melihat siapa yang berada di
dalam mobil itu. Yang ada di pikiranku, aku masih selamat. Kubiarkan saja orang
itu melewatiku begitu saja tanpa mengucapkan kata maaf sedikitpun. Aku hanya
menggeleng tak percaya dengan ulah orang tersebut. Hari itu, memang tiada orang
yang memakai lapangannya. Dengan begini, aku bisa lebih leluasa untuk bermain
basket. Sudah 1 jam lebih aku bermain sendirian dengan permainanku yang
kacau.
Aku tak
memperdulikannya. Yang aku rasakan hanya rasa letih. Sampai aku lupa membawa
air minum. Rasanya begitu kering tenggorokanku. Tapi tiba-tiba ada yang
memberikan sebotol minuman kepadaku. Aku langsung melihat siapa malaikat yang
memberi ku minum. Ini aku gak salah liat kan? Ini bener Kak Ian Pratama kapten
basket itu? Karena aku belum percaya aku langsung menunduk dan memukul wajahku sendiri.
Sakit. Berarti ini sungguhan.
“Hey,
ini gak mau diterima?” tanyanya sambil menggerakkan botol minuman itu.
“O,
boleh juga, thanks ya.“ jawabku
gugup.
“Iya
sama-sama. Sorry ya soal tadi.“
ucapnya sambil duduk disebelahku.
Aku
masih belum percaya kalau yang duduk disampingku ini pangeran yang aku dambakan
dari dulu. Rasanya aliran darahku berhenti. Jantungku berdegup 2x lebih cepat,
aku takut Kak Ian mendengar detak jantungku.
“Soal
apa?” tanyaku polos sok tak megerti.
“Tadi
yang hampir nabrak kamu itu aku.”
“Oh,
jadi kakak tadi itu?” Tiba-tiba aku tak bisa marah dengan orang yang hampir
merenggut nyawaku tadi.
“Tadi
aku buru-buru, makanya aku gak liat kamu lewat. “
“Iya gak
papa kok, lain waktu hati-hati ya, untung tadi cuma aku” jawabku seolah pasrah
dengan keadaan.
“Kamu
main sendirian?”
“Iya,
lagi pula, biasanya banyak juga sih yang main, tapi tumben-tumbenan sepi banget
“
“Gimana
kalo kita main bareng?”
“Haa,
main bareng? Sama Kakak?” tanyaku kaget mendengar ucapan Kak Ian.
“Iya,
emang kenapa? Kamu gak mau main bareng sama aku?”
“Bu..
bukannya gitu, tapi dibandingin sama Kakak, ya mainku kacau lah” tiba-tiba
gagap gara-gara Kak Ian.
“Gak
papa, Cuma buat have fun aja kan,
ayolah “
“Okelah
kalau kakak maksa, tapi masa kakak mau main pakek seragam lengkap kaya gini?”
tanyaku dengan mencuri pandangan untuk melihat Kak Ian
“Iya,
lagian mau pakek baju apapun gak masalah buat aku”
“Iyalah,
kakak kan jago “
“Gak
juga kok, yuk main, “
Aku
memulai dengan melempar bola kepada Kak Ian dan mencoba merebut bola itu dari
Kak Ian. Entah apa yang merasuki ragaku, permainanku penuh dengan lamunan,
hingga pada akhirnya saat Kak Ian melempar bola kepadaku, malah kepalaku yang
terkena bola.
“Aduhhhh
..” jeritku.
“Duh
Rin, sorry banget ya aku gak sengaja
tadi” ucap Kak Ian sambil menuntunku untuk duduk di kursi samping lapangan
“Iya
kak, ini bukan salah kakak kok. Aww... aku juga tadi yang lagi ngelamun “
“Lagi
ngelamunin apa sih Rin?” Tanya Kak Ian sambil membersihkan keringatnya
“Bukan
apa-apa kok, oh iya, gimana hubungan kakak sama Friska?” ups, aku keceplosan
karena rasa ingin tau ku.
“Oh,
kami udah putus kok “
“Hah?
Putus? Bukannya tadi kakak masih pulang bareng?” rasanya seperti turun dari
langit ke-7 mendengar hal itu.
“Iya,
tadi waktu di jalan dia merengek minta ditemenin ke salon. Tau sendiri, kalo
aku gak suka sama cewek yang over.
Makanya aku terlanjur jengkel sama dia, yaudah kami putus”
“Sesimple itukah?”
“Iya”
“Berarti
ada harapan dong?” aduh aku keceplosan lagi gara-gara grogi dekat Kak Ian
“Hah?
Maksud kamu gimana Rin?” Tanya Kak Ian heran
“Eh, gak
kok, maksudnya cewek-cewek yang ngefans sama kakak gitu maksudnya”
“Oh,
kirain kamu, eh..” wah ternyata Kak Ian mulai kasih kode nih, kesempatan bagus
yang gak boleh disiakan.
“Hah, GR
banget kak” jawabku akrab.
“Jangan
panggil kak, panggi aja Ian”
“Ian,
lebih simple kedengarannya “
Setelah
kejadian itu, kami semakin akrab dan tak jarang Kak Ian mengajakku pulang
bareng, nonton, apalagi main basket. Padahal mainku begitu kacau. Sampai suatu hari,
di selang kami bermain basket, Kak Ian memberikanku segelas jus Jeruk untuk
memulihkan tenaga kami. Tapi entah mengapa, ada benda kecil yang berkilau
berada di dalam minumanku. Aku segera mengambil benda itu setelah minumanku
habis. Ternyata sebuah cincin yang terbuat dari perak. Aku bingung apa maksud
dengan semua ini.
“Kak,
kok ada cincin disini?” tanyaku sambil memegangi cincin tersebut
“Ah
masa?” Kak Ian kemudian mengambil cincin itu dari tanganku, kemudian kak Ian
berlutut di hadapanku.
“Kak..
kakak mau ngapain?” tanyaku bingung.
“Rin,
setelah aku mengenalmu dekat-dekat ini, aku merasa hidupku ada yang berbeda
setelah mengenal kamu. Hari-hariku lebih bewarna sejak mengenal kamu. Rin, kamu
mau gak jadi pacarku?”
Oh
Neptunus, mimpi apalagi ini. Bukannya aku sudah terbangun dari tidurku semalam
dengan air guyuran dari Mama?. Sengaja kucubit diriku sendiri. Berharap ini
hanya sekedar mimpi saja. Aku hanya mengagumi Kak Ian. Walau ada sedikit niat
untuk bisa mendapatkan Kak Ian. Tapi aku tau diri, siapa diriku sebenarnya. Aku
bukan cewek dari kalangan menengah atas, kulit yang terawat oleh salon-salon
mahal, pulang pergi dijemput mobil mewah. Aku gak punya semua itu.
“Tapi
kak, aku gak seperti mereka.” jawabku lemas.
“Rin,
kamu beda sama mereka. Aku suka kamu yang apa adanya, bukan ada apanya. Mereka
kebanyakan mengincar ketampanan dan hartaku. Tapi aku gak nemuin itu sedikitpun
di kamu Rin. Rin, aku juga gak maksa kalo kamu emang gak mau asal....”
“Kalo
aku mau jadi pacar kakak gimana?”
“Hah?” jawab
kak Ian kaget mendengar ucapanku.
“Aku gak
bakal ngulang perkataanku 2x lo kak” jawabku sambil tersenyum tipis.
“Ya,
apapun yang kamu minta, aku bakal berusaha buat ngabulin, gimana?”
“Oke.
Ini gak mau dipakein cincinnya?” tanyaku karena cincinnya hanya dipegang.
“O iya
lupa, yaudah aku pakein ya?”
Kak Ian
mulai menyematkan cincin cantik itu di tanganku. Tampak berkilau. Aku hanya
bisa tersenyum sembari memandangi cincin itu.
“Oh Iya
sampai lupa lagi, kamu mau aku lakuin apa?”
“Oke,,
aku minta kakak teriak sekeras-kerasnya, sampai orang-orang kompleks keluar
dari rumahya”
“Terus
aku teriak apa?”
“Kakak
teriak ‘Hey, aku sayang banget sama kamu, Rinda’“
“Cuma
gitu doang?”
“Itu
udah lebih dari cukup kok“
“Oke,
hey semua orang yang ada disini. Aku sayang banget sama Rinda. Aku gak mau
kehilangan dia” teriak Kak Ian seperti orang gila.
Warga
mulai bereaksi. Ada yang melempar sendal, tong sampah, sapu, dll. Aku dan Kak
Ian lari bersama dan meninggalkan tempat itu. Tertawa-tawa senang atas kelakuan
kami. Rasanya aku tak mau kehilangan moment
dengan Kak Ian. Dari situ aku mengerti, berkat bola basket yang mengenai
kepalaku, aku jadi dekat dengan Kak Ian. Cowok yang kutaksir selama ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar