Kamis, 16 Maret 2017

Ulil Hidayati
Kasihku
Lisa menikmati benar hari Minggunya di rumah ketika libur pondok. Menonton Doraemon, Spongebob, dan Barbie sambil menikmati semua makanan yang ada di rumah. Lumpia, keripik kentang, kacang telur, browines di tambah segelas susu coklat hangat. Belum lagi ia nanti akan meghadang tukang jajanan yang lewat. Mbok Surti penjual nasi gurih, lalu tukang bakpao, dan sedikit lebh siang semangkuk es jaipong yang enak dan lezat.
Dari pagi Ibu sudah sewot karena putri semata wayangnya hanya tiduran di sofa sambil ngemil tiada henti.
“Lisa, Lisa. . . belum mandi sudah makan!” tegur Ibu. “Pamali kata orang Jawa, jauh jodoh nanti”.
                Lisa cuma tertawa. Ibu, Ibu! Zaman internetan begini masih percaya takhayul. Lagian siapa yang pingin cepat-cepat nikah, masih SMA ini!
                “Ibu hari ini mau geser-geser perabot, mumpung Ayah lagi tugas luar. Biar ada pemandangan baru di rumah ini. Suntuk juga tiap kali Ibu pulang habis ngajar ketemu suasana yang itu-itu aja. Kalau kamu memang gak mau bantu, jangan menghadang di depan sini”.
                Lisa cemberut.
                Ada saja gangguan di pagi ini. Ia sengaja menolak ajakan Sinta, Febby, dan Caca untuk jalan-jalan ke Taman Dayu semata-mata karena hari ini ingin santai dan menikmati hidup sepuas-puasnya. Makan, tidur, menonton televisi, dan CD sampai bosan. Lisa baru saja membeli CD Insidious Chapter 2. Kapan dong sempat menontonnya kalau Ibu sibuk beres-beres? Kebiasaan banget, hati Lisa bersungut. Seringkali libur malah jadi hari paling sibuk. Yang bersih-bersihlah, nyoba resep baru, mengajak belanja ke supermarket atau pasar tradisional. Pingin nolak tapi bingung antara kasihan dan sebel, karena Lisa sekarang cewek yang dapat diandalkan di rumah. Mbak Laura sudah di bawa suaminya, Mas Aldo. Walau masih sama-sama di Pasuruan tapi rumah mereka agak jauh. Lisa dan keluarga tinggal di Purwosari, sementara Mbak Laura di daerah Bangil.
                Telepon berdering.
                Dengan malas Lisa bangkit karena yang lainnya sedang sibuk angkat-angkat.
                “Hallo?” Sapa suara yang sudah sangat akrab di seberang. Lisa langsung menebak.
                “Hei, Mbak Laura? Pa kabar? Malam minggu nggak nginap sini?”.
                “Itulah, Lis” Keluh Mbak Laura. “Mama ada?”
                “Aduuh, bisa gak yaa.. ”, Suara Mbak Laura putus asa.
                “Ada apa sih, Mbak?”
                “Mbak mau nitipin Azka soalnya harus dampingi Mas Aldo ke Nongkojajar. Ada perpisahan dengan kepala kantornya. Nggak mungkin bawa Azka, tempatnya dingin. Tahu sendiri kan Azka alergi hawa dingin.”
“Lho, si Mina kemana?” Lisa menanyakan pembantu Mbak Laura yang centil tapi cekatan itu.
                “Pulang kampung 2 hari lalu. Maunya, Azka Mbak titipin ke Ibu sama si Mina, tapi bagaimana ya?”
                Lisa terdiam. Dia juga bingung. Baru saja berfikir mau memanggil Ibu di dapur tiba-tiba Mbak Laura berujar
                “Kalau Azka sama kamu, gimana Lis?”
                “Aku?” Mata Lisa membesar.
                “Iya.” Mbak Laura memohon. “Harusnya aku nginap di Nongkojajar tapi kuusahakan malam nanti pulang. Mau ya Lis? Kamu mau apa tinggal bilang deh!”
                Lisa menimbang-nimbang. Menjaga Azka yang baru berusia satu setengah tahun bukan perkara gampang.
Anak itu meski cantik dan imut, aktifnya bukan main. Maunya lari kesana kemari sambil tarik ini tarik itu. Tapi tawaran Mbak Laura juga menggoda. Biasanya kalau orang lagi kepepet bakal meluluskan permintaan apapun dari si penolongnya.
                “Mau uang jajan seminggu, baju, atau pulsa? Apa aja deh, Lis”,  janji Mbak Laura, “Tapi ya, yang wajar aja ya. Jangan bikin aku bokek.”
                Lisa mengulum bibir. Terima, nggak, terima, nggak, terima, nggak.
                Tapi kan aku mau santai seharian di rumah? Protes batinnya keras. Ya, tapi tawaran begini kan lumayan, bisik bagian hatinya yang lain. Kalau bisa minta free buat dua kali pulsa, uang sakunya bisa ditabung buat beli baju dan lain-lain. Akhirnya tanpa pikir panjang lagi Lisa langsung menyetujui, toh ada Ibu! Masa Ibu tega mengabaikan cucu semata wayang?.
                Ada Azka di rumah membuat suasana semakin semarak. Ibu sejenak menghentikan kegiatannya saat Mbak Laura dan Mas Aldo datang mengantarkan putri mereka, beliau terlihat serius berbincang sejenak dengan Mbak Laura lalu beberapa saat tersenyum sendiri.
                “Bener loh, Lis, kamu yang urus. Soalnya Ibu pingin beres-beres rumah, terus pingin masak soto sama bikin bolu”.
                “Beres, Bu!” Jawab Lisa riang.
Walau acara santainya terganggu, bayangan bayaran dari Mbak Laura menari-nari di pelupuk mata. Sebetulnya, Lisa bukannya tak ingin membantu Mbak Laura. Selama ini, bila Azka main ke rumah, Lisa sangat girang karena memang ia baru punya satu keponakan, ia akan senang menyuapi, menggendong, mengajaknya jalan-jalan, mengajak bermain, sepanjang ia memang sedang tidak ada acara.
Tapi memang untuk urusan yang “kotor-kotor”, Lisa tak menangani. Pipis dan buang air besar ditangani Mbak Laura sendiri atau Mas Aldo, atau Mama atau siapapun di rumah ini selain dirinya. Sekarang? Karena dirinya yang akan menerima “pembayaran”, maka otomatis semua adalah tanggung jawabnya.
                Lisa bersiul-siul. Ia mengajak Azka ke minimarket dekat rumah untuk membeli beberapa makanan kesukaannya. Coklat, wafer, roti, keju, donat coklat, susu coklat, dan lain-lain. Biarlah uang sakunya berkurang untuk sementara. Usaha memang butuh modal. Setelah kebutuhan logistik terpenuhi, mereka berdua pulang. Lisa mengajak Azka masuk ke kamar. Menonton CD Insidious Chapter 2 karena pikirnya Azka sudah tenang.
                “Ante. . . Oklat!”
                Azka duduk tenang di karpet sambil menonton. Lisa mengulurkn coklat. Sebentar saja tangan dan wajahnya yang mungil telah belepotan.
                “Donat . . . Ante Lisa.”
                Satu demi satu persediaan kue menipis.
                “Susu. . . Ante!” Lisa mengerutkan kening. Hebat betul perutnya, gumamnya heran. Apa terbuat karet? Saat semuanya habis, Azka mulai merengek.
                “Agi. . . Ante! Inta agi. . .”
                Azka merengek-rengek meminta lagi kue kesukaannya. Lisa mulai mendengus. Ia bangkit dengan kesal dari kasurnya.
                “Iya,iya Tante Lisa mau beli lagi. Tapi Azka disini aja ya?”
                Azka menyusut mata dalam diam. Lisa lalu tersenyum dan berlalu. Gadis itu bergegas membeli beberapa keperluan lalu segera pulang, menuju kamar. Saat membuka pintu, matanya terbelalak. Mulutnya menjerit tertahan.
                “Ya ampuun. . . Azka, Azka!” Seru Lisa setengah marah.
                Azka berdiri di depan komputer sambil menggenggam mouse. Terdengar bunyi klik-klik dan bukan hanya film Insidious yang menghilang tapi juga monitor yang menampilkan penjelasan error. Dengan gemas Lisa merebut mouse. Azka menatapnya dengan pandangan tak mengerti.
                “Kamu apakan komputer Tante, Azka?”
                Mata Lisa memanas menahan amarah. Ia mencari-cari program XingMPeg Player dan tak mendapatkannya. Dan beberapa program yang lain pun hilang entah kemana. Entah apa yang dipencet Azka tadi! Lisa meletakkan mouse dengan lunglai. Ia tidak bisa lagi menonton CD, mengetik tugas-tugas sekolah. Dan yang lebih penting, Lisa tidak bisa meramalkan bagaimana reaksi Ayah!.
                Saat terduduk di tepi kasur, Lisa merasakan celananya basah. Bau khas tajam menyengat hidung.
                “Azka ngompol ya?” Lisa memandang keponakannya yang berdiri dengan wajah ketakutan. Tapi tanpa sadar Lisa memarahinya lalu tangis Azka meledak keras. Lisa bangkit membereskan kamarnya yang porak poranda dengan hati kesal, karpet kotor, seprei pesing, bantal dan guling berserakan dilantai. Warna coklat tersebar kedinding kamar, lantai hingga meja-meja belajar. Bisa jadi saat ditinggalkan. Azka merasa tak ada yang mengawasi sehingga bebas bereksperimen!.



                Tangis Azka tak cepat reda.
                “Aduh..Azka,” keluh Lisa, “kan cuma dimarahi sekali? Nggak terus-terusan. Sudah dong. Cup..cup.. nih, tante tadi beli kue lagi.”
                Azka menangis sesenggukan, Lisa mengulurkan tangan untuk menggendong, walau tahu celananya masih basah berbau pesing.
                “Ganti celana dulu ya?”
                Saat menurunkan celana, Lisa menjerit tertahan bau busuk menyengat.
                “Aduuuh, Azka, Azka” Lisa menahan napas dan menahan rasa muntah, “Kok nggak bilang sih? Nakal amat!”
                Duh, susah amat punya anak! Resek, berisik, bikin kesal, bla..bla..bla. Ibu akhirnya muncul didepan pintu kamar demi mendengar tangisan dari cucu semata wayangnya. Dahinya berkerut.
                “Berisik amat Lis!” tegurnya, “sampai kedengeran kemana-mana”,
                Lisa memandang wajah Ibu putus asa.
                “Kamarku jadi kayak kamar mandi Bu, malah lebih dari itu,” serunya kesal. “Ada pipis, ada eek, ada sampah, susah amat nangani Azka!”
                “Lho, namanya juga anak kecil, ya semaunya begitu”, jelas Ibu.
                “Kamu dulu juga begitu, lagian kamu juga yang setuju dengan permintaan Mbak Laura”.
                Ibu berjongkok mengemasi celana Azka. Membopongnya lalu membersihkannya dikamar mandi. Menghiburnya dengan kata-kata bujukan sambil mendendangkan lagu kanak-kanak.
Sesudah tangis Azka reda, Ibu mengajaknya kedapur. Mendudukan dimeja porselin dapur sembari memberinya sebutir tomat. Ibu mulai memasak.
                Lisa memberesi kamarnya dan membawa barang-barangnya  yang kotor.
                “Seprei, sarung bantal, dan karpet biar Ibu yang nyuci, sekalian kasurmu dijemur Lis” perintah Mama. Lisa mengangguk. Matanya melirik Azka yang tampak tenang disamping Ibu. Kok bisa ya?
                Lisa mengambil tempat duduk disamping mereka berdua.
                “Punya anak susah ya, Bu?” tanyanya
                Ibu tersenyum.
                “Kenapa memangnya?”
                “Ya itu, apa-apa belum bisa bilang, nangis melulu. Pipis, eek sembarangan, bikin semrawut rumah. Pantes rumah Mbak Laura kalau ditinggal si Mina pulang kampung mirip rongsokan pemulung.”
               
Ibu tertawa
                “Sekarang zaman sudah banyak kemajuan, Lis” jelas Ibu, “Ada pampers, ada TPA atau tempat penitipan anak, ada playgroup, dulu saat kamu berdua masih kecil, Ibu Ayah kerja, kami sangat repot, nenek kakek jauh, jadi Mbak Laura sama kamu ikut Ibu kesekolah”.
                “Iya Bu?” mata Lisa membulat. “Terus kalau aku sama Mbak mau pipis?”
                “Ya kamu ngompol, eek, mengotori baju kerja Ibu itu sudah biasa. Untungnya kepala sekolah Ibu perempuan, jadi memahami kesulitan yang dihadapi perempuan bekerja”.
                Lisa tersenyum samar.
                “Terus yang masak sama yang nyuci?”
                “yaa..bagi-bagi tugas sama Ayah” jelas Ibu.
                Sambil meneruskan persiapan sotonya. “Pulang sekalah Ibu belanja, beres-beres rumah, menyuapi kamu semua, membantu PR kalian. Malamnya Ibu mempersiapkan kebutuhan esok hari mulai pakaian hingga makanan. Pagi-pagi Ibu masak, Ayah mencuci. Saat kalian bangun, semua siap, lalu bareng-bareng berangkat sekolah sama kekantor”.
                “Ck..ck..ck..,” Lisa menggeleng-gelengkan kepala, “superwoman ya, Bu?”

Ibu tertawa. Diam-diam Lisa mengamati wajah Ibu yang
tampak awet muda meski sudah bercucu satu. Ibu yang masih aktif, pintar memasak dan menata rumah. Ibu yang pintar mengemong cucu. Pantas Ayah sangat bangga dan sayang padanya.
“Ibu pernah nggak.. Em, benci sama kita-kita?”
“Benci?”
“Iya, benci, kalau waktu kecil pas bikin kesel seperti apa yang dilakukan Azka tadi?”
“Ya... kalau marah sih, pernah” Ibu mengingat-ingat. “Tapi kalau sampai benci jelas tidak”.
Lisa mendongakkan wajah
“Kenapa, Bu?”
Ibu tersenyum
                “Itulah mungkin, makanya timbul pepatah kasih ibu sepanjang jalan, kasih anak sepanjang galah”
                Lisa menelan ludah. Ia seperti mengingat dirinya sendiri, saat-saat libur, Ibu selalu ingat memasakan menu untuk orang-orang yang dicintainya. Bukannya shopping untuk kesenangan diri sendiri.
“Ibu suka kesel sama Lisa, ya?”
                “Lho, memang kenapa?” Ibu memasukkan bumbu soto kepanci berisi air mendidih.
               
“Lisa suka gak sesuai dengan kemauan Ibu”, jawab Lisa.
                Ibu mencicipi kuah soto
                “Lis, mungkin Ibu sesekali terlihat memaksakan kehendak”, jelas Ibu, “Tapi yakinlah, semua orang tua itu ingin kebaikan bagi anaknya. Kalau mungkin caranya yang sedikit memaksa atau terlalu keras, manusia ya bisa khilaf. Jadi Ibu ingin kamu mendengarkan dulu apa kata Ayah dan Ibu, baru kalau ada sesuatu hal yang tidak kamu sukai, kita diskusikan”.
                Lisa tersenyum.
                “Iya deh, Bu”.
                Ibu tiba-tiba tertegun.
                “Kok, kamu tiba-tiba jadi ingin tahu?”
                “Yaa...,” Lisa tersenyum malu.”Waktu tadi kesel ngurus Azka. Jadi terpikir gimana Ibu dulu waktu ngurusi Lisa sama Mbak Laura”.
                “Terus gimana pendapat kamu, Lis?”
                “Ya, Ibu wanita yang hebat. Sampai aja menangani Azka, kalau Lisa mungkin sudah ngamuk berat”.
                Lalu mereka berdua tertawa. Lisa tiba-tiba teringat bayaran yang dijanjikan Mbak Laura. Ada sesuatu yang ingin dibelinya untuk Ibu. Ia sering malas kalau diminta membantu Ibu, padahal nggak sulit-sulit amat.

Sedangkan dulu waktu kecil, Lisa menggantungkan hidup sepenuhnya pada kebaikan hati Ibu. Ah, Ibu, anak memang kadang suka lupa sama orang tua. Tapi Lisa sekarang tidak ingin begitu lagi.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar