Muhammad Zuhri Arif
Jalan
Setapak Seorang Perjaka
Pagi itu, bagi kebanyakan
orang semua hal mungkin terjadi seperti biasa, namun bagiku, pagi itu adalah
pagi tersunyi yang pernah aku temui. Dengan suara air yang tak bergemericik,
dengan hembusan angin yang menerpa embun nan melembut, serta suara denting yang
lambat laun berhenti. Hari itu Hari Rabu, yaah Rabu 7 Januari 2015. Hari dimana
siswa sepertiku diwajibkan untuk menimba ilmu setinggi-tingginya dan
menghabiskan waktu yang berharga dengan pemborosan waktu yang tiada gunanya di
sekolah. Hari itu aku berangkat sekolah sedikit lebih pagi dari biasanya,
bahkan saat itu aku masih dapat melihat gumpalan air dingin yang menempel di
ujung tubuh makhluk bertangkai, aku berangkat sepagi itupun bukan karena iseng
ataupun tanpa alasan yang tak jelas, namun aku berangkat sepagi itu karena ada
sebuah problematik unsur sebuah senyawa pendidikan yang harus diselesaikan saat itu juga.
Sesampainya disekolah aku tak mengira jika ada sosok manusia yang mendahuluiku
tiba disekolah dan ternyata dia adalah teman terdekatku ketika aku berada di
sekolah, namanya M Bagus Setiawan , aku biasa memanggilnya dengan nama tengah,
dia adalah orang kedua yang kutahu tidak pernah meninggalkan kata bahagia dalam
raut wajahnya.
“Hei Dika” sapanya, dia
menyapaku terlebih dulu sebelum aku sempat menyapanya, padahal aku yang lebih
dulu menemukannya dari pada dia menemukanku. “Hei juga” balasku dengan nada
datar dan sedikit sebal di raut mukaku, namun raut itu segera hilang ketika aku
melihat senyumnya yang tak wajar itu. Entah mengapa, tapi itulah temanku.
Kala itu, sekolah usai seperti semestinya dan akupun
kembali ke pondok, namun ada suatu hal yang mengganjal pikiranku karena entah
mengapa aku tiba-tiba merasa bersalah, padahal aku pikir aku tak melakukan
sesuatu yang membuatku merasa bersalah hari ini. Namun mengapa aku tetap merasa
bersalah. Selama peerjalanan kembali menuju pondok yang aku lakukan hanyalah
berpikir tentang perasaan yang aku rasakan. Setibanya di pondok pun aku masih
berpikir dan terus berpikir atas perasaan bersalah yang aku derita, semakin aku
berpikir mengenai hal itu semakin pula kepalaku terasa ngilu hingga tiba-tiba
akupun tenggelam. Dalam mimpi aku tak ingat apa yang terjadi pada saat itu,
yang kutahu tiba-tiba aku mendengar beberapa kawanku yang berusaha
membangunkanku dan “Hey Dika, kau ditunggu keluargamu di depan!”, mendengar
itupun aku secepatnya memulihkan kesadaranku dan melihat ke depan kamar, dan
nampaklah olehku sosok yang mengenakan celana kain tipis yang memiliki beberapa
lubang pada bagian lututnya serta mengenakan jaket tanpa lapisan dalam, dan
anehnya sosok ini nyatanya adalah pamanku yang terlihat begitu tergesa-gesa,
melihat pamanku yang begitu tergesa-gesa, akupun tanpa berpikir panjang segera
faham tujuan atas kedatangan pamanku kesini, yaitu mengajakku pulang, tapi
kenapa begitu tiba-tiba. Tanpa mempersiapkan sesuatu pun yang akan aku bawa
pulang, akupun segera mengikuti pamanku, dengan masih memakai seragam putih
yang lusuh dan penguk serta celana abu-abu yang kotor dan kumal, aku mengambil
tas sekolahku dan lekas mengikuti pamanku mengendarai sepeda butut milik
pamanku.
Diperjalanan tidak terasa seberapa cepat sepeda butut
ini melaju, yang aku tahu hampir setiap kendaraan yang berada di kiri dan kanan
seperti pohon diam yang tak bergerak, hingga angin dari arah depan terasa begitu keras menghantamku,
bagaikan dinding yang tak berujung, entah karena terlalu cepat atau apalah,
sehingga aku merasakan semua itu, yang pasti kebingungan yang aku derita ini
membuat diriku khawatir dan takut. Takut akan setiap jawaban dari soal yang aku
tanyakan pada diriku sendiri “apa yang telah terjadi ?”, dan hanya kematian
yang ada di benakku, dan jika benar “Siapa?, siapa yang telah tiada ?” aku
sungguh khawatir dan takut.
Setelah 15 menit berlalu, rasa kekhawatiranku
terbalaskan, ketika diriku semakin dekat dengan rumah, nampaklah bendera hijau
tanda kematian yang berada tepat didepan rumahku disertai banyaknya orang yang
mengerumuni rumahku. Kini hanya satu hal yang belum terjawab di benakku
“Siapakah anggota keluargaku yang telah tiada ?” mungkinkah kakekku, sebab
hanya kakekku sajalah yang kutahu sedang mengalami sakit yang cukup parah,
bahkan sampai membuat sebagian dari anggota tubuhnya lumpuh, atau mungkin itu
anggota keluargaku yang lain, tapi aku buang pikiran itu jauh-jauh, sebab
kutahu semua anggota keluargaku selain kakek hampir tidak pernah memiliki
penyakit yang serius. Karena selama diperjalan pamanku tidak berkata sepatah
katapun, menjadikan diriku semakin takut apabila yang telah tiada itu bukanlah
kakekku melainkan anggota keluargaku yang lain. Semakin dekat diriku dengan
rumah, semakin berusaha pula aku meyakinkan diriku bahwa itu adalah kakekku, ya
kakekku! Bukan yang lain!
Setibanya dirumah aku segera meloncat dari sepeda
butut pamanku dan segera berlari masuk menuju dalam rumah. Didalam rumah aku
melihat sebuah kain besar bewarna hijau yang membagi ruang tamu rumahku menjadi
dua, tanpa memperhatikan apa yang ada di sekelilingku aku terus berlari menuju
sesuatu yang ada di balik kain hijau itu, entah mengapa pikiranku hanya
terfokus kesana. Ketika diriku telah berada di balik kain hijau itu, aku
melihat ada beberapa orang yang berada disana, mulai dari orang yang aku kenal
yaitu ibu dan adikku, hingga orang yang bahkan tak pernah aku temui sekalipun,
mereka semua mengitari sosok jenazah yang tertutupi oleh secarik kain batik.
Ketika aku menatap jenazah yang masih tertutup oleh secarik batik itu, sesuatu
yang telah berusaha aku mungkinkan berubah menjadi tidak mungkin, dan segala
sesuatu yang sedari tadi telah aku yakinkan pada diriku sendiri segera lenyap
dengan sekejap, karena aku yakin sosok jenazah yang berada di depanku bukanlah
kakekku melainkan itu adalah sosok ayahku.
Saat itu, saat aku mengetahui kenyataan itu, waktu
terasa nampak berjalan begitu lama bagaikan diam, akupun hanya dapat diam dan
berdiri kaku, aku tak dapat berpikir apa yang harus aku lakukan, aku tak dapat
merasakan apa yang ada di sekitar, telingaku tiba-tiba terasa tuli, mulutku
tiba-tiba terasa terkunci, suaraku tercekat, dan akupun membisu, tangan serta
kakiku terasa layaknya terikat jerat pukat yang tak bercela, pandanganku
kosong, namun tatapanku tetap terpaku pada sosok tulang punggung keluargaku
yang terbaring kaku tepat didepanku, sosok itu terlihat begitu sehat dan bugar.
Namun nampak jelas jika ia telah tak bernyawa, tanpa sepatah katapun yang
terucap ataupun terlintas di pikiranku, tiba-tiba saja rasa nyeri menyelinap
dalam hatiku, dan tak terasa air mataku telah mengalir menggenangi pelupuk mata dan terus mengalir melewati
pipi, aku berlari menuju kamarku dan mengurung diri.
Entah
kutahu datang dari mana sekelebat demi sekelebat kenangan demi kenangan waktu
yang kuhabiskan dengan ayahku, walaupun tak banyak waktu yang telah aku habiskan
dengannya. Namun tahap demi tahap aku mengingat segala waktu yang telah aku
lalui bersamanya, dari aku kecil hingga aku menjadi sebesar ini. Air mataku tak
terasa telah mengalir begitu derasnya hingga membasahi sepasang seragam yang
masih kugenakan. Cukup lama aku merasakannya, merasakan perihnya sebuah jiwa
yang teriris, merasakan hilangnya sebuah penopang tujuan kehidupan, merasakan betapa
dukanya tidak memiliki sosok seorang ayah. Setelah semua perasaan sedih itu
berlalu aku mulai mengingat jika aku masih memiliki seorang adik perempuan, dan
akupun berpikir
“Jika
aku tidak bisa tegar menghadapi hal ini, bagimana bisa aku menggantikan ayahku
untuk menjadi wali dari adikku”,
Akupun segera kembali menguasai diriku dan
menegaskan kembali pada diriku jika semua ini hanyalah apa yang dikehendaki
sang maha kuasa. Sesaat kemudian aku mendengar suara tangis didekat kamarku,
karena merasa tidak asing dengan suara tersebut, aku segera menuju kearah
datangnya suara tangis itu. Nampaklah sosok besar yang bersandar kepada dinding
dengan terbalik, dengan tangan yang menopang berat tubuhnya, serta piluan kasar
yang terdengar dari suara tangisnya, aku tahu jika itu adalah kakakku yang telah
tergoncang hatinya karena menerima hal berat ini. Akupun lekas mendekatinya dan
berusaha menenangkannya, setelah kakakku tenang dia berkata “Ayo kita rawat
jenazah ayah” dengan senyum di bibirnya serta linangan air mata yang masih
mengalir dari pelupuk matanya. Aku mengikuti kakakku menuju jenazah ayah yang
berada di ruangan depan. Setelah kami tiba di ruangan yang terbalut kain hijau
itu, aku memandangi wajah ayahku yang terbaring diam disana, aku memandanginya
dengan seksama dan mendapati raut muka bahagia yang terlukis di sana.
Aku dan kakakku merawat jenazah ayah dengan extra hati-hati. Entah karena itu adalah
ayah kami atau mungkin karena kami telah berkecil hati, yang pasti kami telah
melakukan sebaik-baiknya apa yang bisa kami lakukan. Hingga prosesi selesai aku
dan kakakku tidak merasa sedih sedikitpun karena kami yakin ini adalah jalan
terbaik yang dipilihkan sang maha kuasa untuk kami. Namun berbeda dengan kami,
beberapa keluarga kami yang lain, untuk menenangkannya membutuhkan waktu dan
kesabaran yang lebih extra, terutama
ibuku yang merasa lebih terpukul atas kejadian ini dari pada orang lain.
Setelah semua hal itu berlalu, hari-hariku kini kembali seperti sedia kala
tanpa ada yang berubah sedikitpun dalam segala apa yang telah aku perbuat,
namun sebenarnya ada satu hal yang telah berubah dariku, yaitu bagiamana cara
diriku untuk memandang garis kehidupan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar