Senin, 13 Maret 2017

cerpen remaja: jalan setapak seorang perjaka

Muhammad Zuhri Arif
Jalan Setapak Seorang Perjaka


Pagi itu, bagi kebanyakan orang semua hal mungkin terjadi seperti biasa, namun bagiku, pagi itu adalah pagi tersunyi yang pernah aku temui. Dengan suara air yang tak bergemericik, dengan hembusan angin yang menerpa embun nan melembut, serta suara denting yang lambat laun berhenti. Hari itu Hari Rabu, yaah Rabu 7 Januari 2015. Hari dimana siswa sepertiku diwajibkan untuk menimba ilmu setinggi-tingginya dan menghabiskan waktu yang berharga dengan pemborosan waktu yang tiada gunanya di sekolah. Hari itu aku berangkat sekolah sedikit lebih pagi dari biasanya, bahkan saat itu aku masih dapat melihat gumpalan air dingin yang menempel di ujung tubuh makhluk bertangkai, aku berangkat sepagi itupun bukan karena iseng ataupun tanpa alasan yang tak jelas, namun aku berangkat sepagi itu karena ada sebuah problematik unsur sebuah senyawa pendidikan  yang harus diselesaikan saat itu juga. Sesampainya disekolah aku tak mengira jika ada sosok manusia yang mendahuluiku tiba disekolah dan ternyata dia adalah teman terdekatku ketika aku berada di sekolah, namanya M Bagus Setiawan , aku biasa memanggilnya dengan nama tengah, dia adalah orang kedua yang kutahu tidak pernah meninggalkan kata bahagia dalam raut wajahnya.
“Hei Dika” sapanya, dia menyapaku terlebih dulu sebelum aku sempat menyapanya, padahal aku yang lebih dulu menemukannya dari pada dia menemukanku. “Hei juga” balasku dengan nada datar dan sedikit sebal di raut mukaku, namun raut itu segera hilang ketika aku melihat senyumnya yang tak wajar itu. Entah mengapa, tapi itulah temanku.
                Kala itu, sekolah usai seperti semestinya dan akupun kembali ke pondok, namun ada suatu hal yang mengganjal pikiranku karena entah mengapa aku tiba-tiba merasa bersalah, padahal aku pikir aku tak melakukan sesuatu yang membuatku merasa bersalah hari ini. Namun mengapa aku tetap merasa bersalah. Selama peerjalanan kembali menuju pondok yang aku lakukan hanyalah berpikir tentang perasaan yang aku rasakan. Setibanya di pondok pun aku masih berpikir dan terus berpikir atas perasaan bersalah yang aku derita, semakin aku berpikir mengenai hal itu semakin pula kepalaku terasa ngilu hingga tiba-tiba akupun tenggelam. Dalam mimpi aku tak ingat apa yang terjadi pada saat itu, yang kutahu tiba-tiba aku mendengar beberapa kawanku yang berusaha membangunkanku dan “Hey Dika, kau ditunggu keluargamu di depan!”, mendengar itupun aku secepatnya memulihkan kesadaranku dan melihat ke depan kamar, dan nampaklah olehku sosok yang mengenakan celana kain tipis yang memiliki beberapa lubang pada bagian lututnya serta mengenakan jaket tanpa lapisan dalam, dan anehnya sosok ini nyatanya adalah pamanku yang terlihat begitu tergesa-gesa, melihat pamanku yang begitu tergesa-gesa, akupun tanpa berpikir panjang segera faham tujuan atas kedatangan pamanku kesini, yaitu mengajakku pulang, tapi kenapa begitu tiba-tiba. Tanpa mempersiapkan sesuatu pun yang akan aku bawa pulang, akupun segera mengikuti pamanku, dengan masih memakai seragam putih yang lusuh dan penguk serta celana abu-abu yang kotor dan kumal, aku mengambil tas sekolahku dan lekas mengikuti pamanku mengendarai sepeda butut milik pamanku.
                Diperjalanan tidak terasa seberapa cepat sepeda butut ini melaju, yang aku tahu hampir setiap kendaraan yang berada di kiri dan kanan seperti pohon diam yang tak bergerak, hingga angin dari arah  depan terasa begitu keras menghantamku, bagaikan dinding yang tak berujung, entah karena terlalu cepat atau apalah, sehingga aku merasakan semua itu, yang pasti kebingungan yang aku derita ini membuat diriku khawatir dan takut. Takut akan setiap jawaban dari soal yang aku tanyakan pada diriku sendiri “apa yang telah terjadi ?”, dan hanya kematian yang ada di benakku, dan jika benar “Siapa?, siapa yang telah tiada ?” aku sungguh khawatir dan takut.
                Setelah 15 menit berlalu, rasa kekhawatiranku terbalaskan, ketika diriku semakin dekat dengan rumah, nampaklah bendera hijau tanda kematian yang berada tepat didepan rumahku disertai banyaknya orang yang mengerumuni rumahku. Kini hanya satu hal yang belum terjawab di benakku “Siapakah anggota keluargaku yang telah tiada ?” mungkinkah kakekku, sebab hanya kakekku sajalah yang kutahu sedang mengalami sakit yang cukup parah, bahkan sampai membuat sebagian dari anggota tubuhnya lumpuh, atau mungkin itu anggota keluargaku yang lain, tapi aku buang pikiran itu jauh-jauh, sebab kutahu semua anggota keluargaku selain kakek hampir tidak pernah memiliki penyakit yang serius. Karena selama diperjalan pamanku tidak berkata sepatah katapun, menjadikan diriku semakin takut apabila yang telah tiada itu bukanlah kakekku melainkan anggota keluargaku yang lain. Semakin dekat diriku dengan rumah, semakin berusaha pula aku meyakinkan diriku bahwa itu adalah kakekku, ya kakekku! Bukan yang lain!
                Setibanya dirumah aku segera meloncat dari sepeda butut pamanku dan segera berlari masuk menuju dalam rumah. Didalam rumah aku melihat sebuah kain besar bewarna hijau yang membagi ruang tamu rumahku menjadi dua, tanpa memperhatikan apa yang ada di sekelilingku aku terus berlari menuju sesuatu yang ada di balik kain hijau itu, entah mengapa pikiranku hanya terfokus kesana. Ketika diriku telah berada di balik kain hijau itu, aku melihat ada beberapa orang yang berada disana, mulai dari orang yang aku kenal yaitu ibu dan adikku, hingga orang yang bahkan tak pernah aku temui sekalipun, mereka semua mengitari sosok jenazah yang tertutupi oleh secarik kain batik. Ketika aku menatap jenazah yang masih tertutup oleh secarik batik itu, sesuatu yang telah berusaha aku mungkinkan berubah menjadi tidak mungkin, dan segala sesuatu yang sedari tadi telah aku yakinkan pada diriku sendiri segera lenyap dengan sekejap, karena aku yakin sosok jenazah yang berada di depanku bukanlah kakekku melainkan itu adalah sosok ayahku.
                Saat itu, saat aku mengetahui kenyataan itu, waktu terasa nampak berjalan begitu lama bagaikan diam, akupun hanya dapat diam dan berdiri kaku, aku tak dapat berpikir apa yang harus aku lakukan, aku tak dapat merasakan apa yang ada di sekitar, telingaku tiba-tiba terasa tuli, mulutku tiba-tiba terasa terkunci, suaraku tercekat, dan akupun membisu, tangan serta kakiku terasa layaknya terikat jerat pukat yang tak bercela, pandanganku kosong, namun tatapanku tetap terpaku pada sosok tulang punggung keluargaku yang terbaring kaku tepat didepanku, sosok itu terlihat begitu sehat dan bugar. Namun nampak jelas jika ia telah tak bernyawa, tanpa sepatah katapun yang terucap ataupun terlintas di pikiranku, tiba-tiba saja rasa nyeri menyelinap dalam hatiku, dan tak terasa air mataku telah mengalir menggenangi  pelupuk mata dan terus mengalir melewati pipi, aku berlari menuju kamarku dan mengurung diri.
Entah kutahu datang dari mana sekelebat demi sekelebat kenangan demi kenangan waktu yang kuhabiskan dengan ayahku, walaupun tak banyak waktu yang telah aku habiskan dengannya. Namun tahap demi tahap aku mengingat segala waktu yang telah aku lalui bersamanya, dari aku kecil hingga aku menjadi sebesar ini. Air mataku tak terasa telah mengalir begitu derasnya hingga membasahi sepasang seragam yang masih kugenakan. Cukup lama aku merasakannya, merasakan perihnya sebuah jiwa yang teriris, merasakan hilangnya sebuah penopang tujuan kehidupan, merasakan betapa dukanya tidak memiliki sosok seorang ayah. Setelah semua perasaan sedih itu berlalu aku mulai mengingat jika aku masih memiliki seorang adik perempuan, dan akupun berpikir
“Jika aku tidak bisa tegar menghadapi hal ini, bagimana bisa aku menggantikan ayahku untuk menjadi wali dari adikku”,
 Akupun segera kembali menguasai diriku dan menegaskan kembali pada diriku jika semua ini hanyalah apa yang dikehendaki sang maha kuasa. Sesaat kemudian aku mendengar suara tangis didekat kamarku, karena merasa tidak asing dengan suara tersebut, aku segera menuju kearah datangnya suara tangis itu. Nampaklah sosok besar yang bersandar kepada dinding dengan terbalik, dengan tangan yang menopang berat tubuhnya, serta piluan kasar yang terdengar dari suara tangisnya, aku tahu jika itu adalah kakakku yang telah tergoncang hatinya karena menerima hal berat ini. Akupun lekas mendekatinya dan berusaha menenangkannya, setelah kakakku tenang dia berkata “Ayo kita rawat jenazah ayah” dengan senyum di bibirnya serta linangan air mata yang masih mengalir dari pelupuk matanya. Aku mengikuti kakakku menuju jenazah ayah yang berada di ruangan depan. Setelah kami tiba di ruangan yang terbalut kain hijau itu, aku memandangi wajah ayahku yang terbaring diam disana, aku memandanginya dengan seksama dan mendapati raut muka bahagia yang terlukis di sana.
                Aku dan kakakku merawat jenazah ayah dengan extra hati-hati. Entah karena itu adalah ayah kami atau mungkin karena kami telah berkecil hati, yang pasti kami telah melakukan sebaik-baiknya apa yang bisa kami lakukan. Hingga prosesi selesai aku dan kakakku tidak merasa sedih sedikitpun karena kami yakin ini adalah jalan terbaik yang dipilihkan sang maha kuasa untuk kami. Namun berbeda dengan kami, beberapa keluarga kami yang lain, untuk menenangkannya membutuhkan waktu dan kesabaran yang lebih extra, terutama ibuku yang merasa lebih terpukul atas kejadian ini dari pada orang lain. Setelah semua hal itu berlalu, hari-hariku kini kembali seperti sedia kala tanpa ada yang berubah sedikitpun dalam segala apa yang telah aku perbuat, namun sebenarnya ada satu hal yang telah berubah dariku, yaitu bagiamana cara diriku untuk memandang garis kehidupan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar