Muhammad Fuad
Maafkan
Saya, Pak!
Tap…,tap…,tap…
Aku berlari kencang. Melewati lorong gang, kemudian melalui jalan besar,
orang-orang menyebutnya Jalan Masjid. Kulihat kanan kiri, jalan ini tak seperti
biasanya. Seperti tidak ada tanda-tanda kehidupan. Tak ada gerak-gerik manusia,
tak ada kicauan burung, tak nampak pula cahaya mentari. Terasa sangat janggal
bagiku, namun aku terus melesat.
07.25. Kulihat mesin waktuku
berwarna hitam di tangan kiriku. Aku masih berlari setengah jalan. Sambil
ngos-ngosan aku memikirkan alasan apa yang tepat untuk dipertanggung jawabkan
nanti di depan guru tatib. Aku yakin mereka sedang berpatroli di area gerbang
sekolah, siap menjaring pelajar-pelajar yang kurang disiplin.
Hampir mendekati sekolah, aku
mengurangi kecepatan. Kulihat dari jauh, gerbang sekolah menganga lebar. Tapi
anehnya tak ada satu pun manusia bersiaga disana. Yes…., batinku.
Kesempatan tidak datang dua kali. Kupercepat lajuku kembali. Ibarat atlet
pelari profesional yang melihat garis finish, ia pasti akan menambah
kecepatannya. Sesampainya di halaman sekolah, kulihat banyak teman-temanku
berada di luar kelas. Aku langsung yakin bahwa sekarang adalah jam kosong. Alhamdulillah,
keberuntungan kedua, batinku. Seraya mengatur nafasku. Aku pun masuk kelas.
Setelah istirahat pertama usai,
saatnya mata pelajaran sejarah. Pelajaran yang kata banyak pelajar adalah
pelajaran yang selalu mengungkit-ungkit masa lalu. Namun tidak bagi Pak Rud,
Karena memang beliau guru sejarah. Kebanyakan orang jika melihat beliau pertama
kali pasti berpikir bahwa orang ini menakutkan, karena wajahnya yang terkesan
serius. Namun ternyata beliau orangnya santai dan kalem, begitu kata temanku.
“Assalamualaikum …!”
Suara Pak Rud seraya memasuki kelas.
Suasana masih gaduh, ramai, bising, seperti suasana pasar Jumat pagi. Anak-anak
masih sibuk dengan perbincangan masing-masing. Hampir semuanya tak menghiraukan
beliau. Begitu pula aku. Aku Yang sejak tadi tidak keluar kelas masih terfokus
pada kertas HVS berisi coretan-coretanku.
“Ehemm… “
Pak Rud berdehem. Entah karena batuk,
atau sakit tenggorokan, atau mungkin juga cara beliau untuk mengalihkan
perhatian anak-anak. Dan ternyata berhasil. Suasana pun sedikit tenang.
“Anak-anak, karena waktu kita hanya
sedikit, langsung saja buka halaman 17!” Pinta Pak Rud. Namun suara beliau
terdengar sangat pelan, sehingga suara yang biasanya menggema sampai sudut
ruangan, tak terdengar sama sekali, bahkan untuk menjangkau gendang telinga
anak-anak yang duduk di barisan depan. Suara itu semakin tak jelas karena
bersamaan dengan suara speaker yang menginformasikan pergantian jam pelajaran.
Alhasil, anak-anak pun dengan reflek melayangkan pertanyaan yang sekiranya
menuntut beliau untuk mengulangi lagi perintahnya.
“Halaman berapa, Pak?” Amad yang duduk
di tengah, menjadi orang yang pertama bertanya. Disusul Azar yang duduk di
belakangnya. Kemudian Mada, agak pojok, dan seterusnya. Hampir semua
teman-temanku bertanya dengan pertanyaan yang sama. Berseling-selingan. Seperti
kicauan burung yang bersahut-sahutan di pagi hari. Entah karena pendengaran
mereka yang kurang jelas atau memang kesengajaan mereka, agar kelas menjadi
ramai. Sedangkan aku masih sibuk dengan coretanku. Entah ada bisikan dari mana,
sehingga mulutku yang dari tadi membisu, kini ikut-ikutan bertanya.
“Pelajaran apa, Pak?” dengan nada yang
tak terlalu keras.
“Hahahaha……,” Ternyata seisi kelas
tertawa. Aku heran, apa yang lucu? apa karena pertanyaan ku tadi aneh?
Entahlah. Bagiku tadi biasa saja. Tapi mungkin saja mereka menganggap itu lucu.
Okelah, terserah kalian. Suasana kelas pun Bertambah ramai, bahkan lebih ramai
dari sebelumnya.
Selang sepersekian detik, terdengar
suara yang dengan cepat mengubah suasana menjadi hening.
“Siapa yang bilang tadi?”
Terdengar dari volumenya, ini suara
orang yang marah. Aku yang dari tadi fokus pada coretan HVS-ku mengalihkan perhatian
pada suara itu, suara pak Rud. Terlihat dari wajahnya, ekspresi yang sangat
menyeramkan. Sangat berbeda dengan ketika awal masuk kelas tadi. Ternyata
beliau marah. Aku kaget bukan main, karena aku yakin kalimat itu untuk
menanggapi pertanyaanku tadi. Dengan reflek, dadaku berdegup kencang, melebihi
kecepatan berlariku tadi pagi. Detak jantungku tak terkontrol. Keringat dingin
mengalir deras dari pori-pori. Pensil di tanganku, dengan otomatis jatuh dari
genggamanku. Badanku mendadak lemas. Seperti tiang bangunan tanpa besi dan
campuran semen. Dengan tenagaku yang tersisa, aku memberanikan diri mengangakat
tangan kananku dengan perlahan. Semua mata tertuju padaku.
“Keluar kamu!”
Telingaku sampai memerah mendengarnya.
Namun aku masih tak beranjak dari tempatku. Aku mematung. Seakan-akan tak yakin
ini semua terjadi pada diriku. Pandanganku kosong. Aku baru sadar bahwa ini
benar-benar nyata terjadi ketika Pak Rud berdiri dari tempat duduknya, lalu
menghampiriku, yang duduk di baris kedua dari depan, sejajar dengan meja guru.
Pak Rud meraih tanganku dengan cengkraman yang kuat, bahkan lebih kuat dari
cengkraman burung garuda pada pita “Bhinneka Tunggal Ika”. Aku pun pasrah, tak
bisa menolak, apa lagi mengelak. Beliau menuntunku sampai ke depan pintu kelas,
mirip seperti tahanan yang akan dipenjarakan, namun tanpa diborgol. Satu dua
langkah, akhirnya aku sudah berada di luar kelas. Kelas berubah menjadi bisu.
Aku duduk di kursi panjang di
pelataran kelas, seraya menundukkan kepala. Pandanganku kosong. Cahaya dhuha
yang remang-remang datang menghiburku, seakan-akan mengerti atas apa yang telah
terjadi padaku. Aku tak habis pikir mengapa ini bisa terjadi. Ini konyol, ini
memalukan. Begitu bodohnya aku. Entahlah. Aku pun memutuskan menunggu beliau
keluar. Namun sial, perutku terasa sakit, cekit-cekit. Hingga aku tak kuat
menahannya. Aku pun melesat ke kamar kecil. Kucurahkan semuanya disana.
Setelah dirasa tuntas, aku kembali ke
kelas untuk memenuhi niatku tadi, meminta maaf pada Pak Rud. Namun memang sudah
takdirnya, sudah terlambat. Beliau sudah beranjak, mungkin ke kantor. Baiklah,
lain kali saja batinku.
Seminggu setelah kejadian itu, dihari
yang sama, pelajaran sejarah kosong. Pak Rud tak mengajar hari ini. Aku sedikit
kecewa. Berbeda dengan kebanyakan teman-temanku. Kekecewaanku semakin menjadi,
ketika telingaku mendengar desas-desus dari mereka, bahwa beliau sudah tak
mengajar lagi di sekolah ini. Entah kenapa. Apa mungkin ini sebab aku?
Terlintas di benakku. Aku pun menyesal pada diriku sendiri. Aku berkata dalam
hati “maafkan saya, Pak!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar